TROTOAR
(Oleh : Trilaksito Saloedji)
Kehidupan masa kecil di kota sejuk ini terasa
manis dan mengesankan. Hidup di lingkungan kampung yang tidak jauh dari jalan
besar. Bermain pada siang hari selepas sekolah dengan teman-teman sekolah
maupun teman lainnya. Bermain engklek,
bik-thor, petak umpet atau berenang di kali Brantas. Bermain di sekitar
rumah-rumah yang berhalaman luas dan rindang dengan tanaman buah-buahan maupun tanaman
hias. Atau bermain di trotoar pinggir jalan raya dengan memanfaatkan kelopak
palem raja yang tanggal dari batangnya. Ada
yang naik pada pangkal kelopaknya sedangkan yang lain menarik pada ujungnya.
Demikian bergantian kita bermain disertai derai tawa meriah bila ada yang jatuh
terguling ke trotoar, karena teman yang lain sangat kuat menariknya.
Keadaan trotoar tahun sembilan belas
lima puluh-an.
Trotoar yang cukup lebar dan rata. Dari pasangan tegel abu-abu kehitaman
berukuran dua puluh kali dua puluh centimeter. Meskipun kota sejuk ini banyak diguyur hujan, trotoar
ini tidak licin. Karena tegel itu bergaris diagonal, garis yang membentuk
tonjolan keluar dan lekukan ke dalam.
Orang-orang leluasa berjalan karena keadaan lengang. Pohon-pohon rindang
di pinggir jalan tajuknya menaungi orang yang berjalan pada saat matahari bersinar
di siang hari. Pada malam hari lampu-lampu penerangan jalan menyinarinya.
Jalan raya yang berbatasan dengan
trotoar ini merupakan jalan dua arah. Arah Selatan menuju ke tengah kota dan ke terminal bis
(waktu itu orang menyebutnya stasiun bis). Arah Utara kearah luar kota . Sesekali melintas di
jalan raya itu demo dan atak. Yaitu kendaraan roda tiga,
angkutan umum kota
pada saat itu. Kadang-kadang truk, bis antar kota dan mobil pribadi meramaikan suasana.
Sepeda motor yang tampak di jalanan, adalah BSA,
NSU atau Harley Davidson. Yang
sering hilir mudik di jalanan adalah dokar dan orang bersepeda. Semua kendaraan
tersebut melaju dengan kecepatan maksimal sesuai rambu-rambu yang telah
ditetapkan. Klakson dan suara knalpot kendaraan tidak mengganggu suasana. Tidak
ada kesan hiruk-pikuk dan terburu-buru bersaing menjadi raja jalanan. Memang terasa suasana di jalanan nyaman
dan santun.
*
Kini tahun dua ribu dua belas. Setelah purna tugas aku diminta orang tuaku
kembali ke kampung halaman. Membuat rumah di dekat tempat tinggal mereka,
karena halaman dan pekarangannya masih luas. Istri dan anak-anakku menyambut
baik sebab terkesan akan lingkungannya yang tenang sejuk dan nyaman. Kembali
ke kampung halaman. Bersua dengan beberapa teman lama, antara lain Kahar dan
Matsari. Teman-teman akrabku sejak di bangku Sekolah Rakyat sampai sekolah SMP.
Yang lain ada yang sudah meninggal, atau
pindah ke kota
lain. Kini Kahar dan Matsari tak berbeda dengan aku. Sudah tua. Rambut sebagian
memutih dengan uban, wajah mulai keriput dan penampilan yang tidak gagah lagi.
Setelah tiga puluh tahun lebih
bekerja, aku ingin menikmati masa pensiun sepenuhnya. Hal ini di dukung oleh
istriku yang masih aktif menjadi guru. Kahar dan Matsari adalah pensiunan PNS.
Kami bertiga saling bertandang. Ngobrol dengan berbagai topik yang tiada
habisnya, diselingi nostalgia masa lalu. Atau berolahraga, berjalan kaki
bersama atau bermain ping-pong di rumahku sampai kelelahan.
Pada tanggal tertentu kami bersama-sama
mengambil uang pensiun di bank BTPN. Letaknya tidak jauh dari tempat tinggal
kami. Setelah keluar dari gapura kampung, kami sampai di trotoar yang akrab
dengan kami sekian puluh tahun yang lalu. Namun sekarang pemandangannya sangat
jauh berbeda. Kami bertiga membandingkan dengan keadaan yang lalu. Membicarakan
dan menyayangkan perubahan yang memberi kesan pengaturan yang amburadul.
Trotoar dari tegel dengan
garis-garis diagonal sudah diganti dengan paving bersudut enam. Pohon di
pinggir jalan sudah besar, akarnya muncul keluar dan melesak merusak trotoar.
Trotoar menjadi tidak rata, retak-retak, tidak sedap dipandang mata dan tidak
nyaman dijalaninya.
*
Pemerintah kota menghiasi pinggir trotoar dengan pot-pot
bunga. Karena pot-pot itu besar dengan
sendirinya mengurangi lebar trotoar. Pot-pot itu ditanami dengan tanaman hias.
Pada awalnya suasana menjadi semarak. Namun belum genap satu bulan rumput dan
tanaman pengganggu sudah menyenak. Pot bunga tersebut juga berubah fungsi
menjadi tempat sampah. Tempat pembuangan kertas dan kemasan plastik serta
puntung rokok oleh orang-orang yang sedang lewat di situ. Baunya tidak sedap,
menyengat karena ada yang mengencinginya.
Nasib tanaman hias merana, hidup tak hendak matipun tidak. Sehingga gerakan penghijauan itu tidak menambah
keindahan malah mempersempit trotoar, dan menyebalkan pandangan mata.
Dulu di sisi Barat sepanjang
trotoar ini berdiri rumah-rumah besar dengan bentuk yang anggun. Halaman muka yang
luas ditanami bunga-bunga sehingga menampakkan keindahannya. Namun sekarang
suasana telah berubah. Rumah-rumah tersebut tiada lagi. Telah berubah bentuk
sesuai peruntukannya. Ada
yang menjadi tempat usaha, toko, rumah makan, show room mobil dan motor serta
tempat servicenya.. Sebagian menjadi Kantor Asuransi, Kantor Usaha Travel, dan
beberapa Kantor Bank, dan sebuah Kantor Pemerintah. Para
pemilik atau penguasa bangunan-bangunan membuat jalan keluar masuk (mobil) yang
memotong trotoar tersebut dengan merubah ketinggian trotoar sesuai keperluan
mereka. Sehingga trotoar menjadi tidak rata dan tidak nyaman bagi pejalan kaki.
Di sebuah tempat, didirikan gardu jaringan telpon yang memakan beberapa meter panjang
dan selebar trotoar ini, sehingga memotong trotoar ini. Bahkan pada satu
tempat, trotoar tersebut berkurang lebarnya karena ada bangunan semi permanen
warung-warung makan.
Pada siang sampai sore hari
trotoar itu berubah fungsi, menjadi tempat parkir mobil dan motor. Karena
halaman toko, show room mobil dan servis
motor serta kantor-kantor tersebut tidak bisa menampung semua kendaraan
pelanggan atau tamu mereka. Alih-alih pejalan kaki mau santai menyusuri trotoar
dengan tenang, justru sering dikagetkan deru dan klakson mobil dan motor yang mendadak
mendekat untuk parkir di trotoar. Ditingkah suara peluit tukang parkir yang memekakkan
telinga. Berjalan dengan hati was-was, turun ke pinggir jalan aspal. Menghindar
dari genangan air yang tidak mendapat jalan salurnya. Si pejalan kaki terpaksa
sedikit ke tengah, nyaris berpapasan dengan kendaraan angkot dan sepeda motor.
Tidak ada lagi ketenteraman bagi pejalan kaki. Hak-hak pribadi dan keselamatan orang
tidak ada lagi yang menghiraukan. Rasanya kepedulian terhadap sesama sudah hilang dari
pikiran yang waras.
*
Pada hari-hari pembayaran pensiun. Suasana
trotoar sekitar Kantor Bank yang akan membayarkan pensiun ini makin ramai. Parkir
sepeda motor menyita seluruh trotoar sekitar Kantor Bank. Orang tidak lagi
berjalan di trotoar tetapi terpaksa berjalan di pinggir jalan raya yang padat
dengan lalu lintas kendaraan bermotor. Di atas sadel motor yang diparkir dekat
pintu halaman Kantor Bank, duduk menanti beberapa orang muda yang kerjanya sebagai
debt collector. Menunggu para pensiunan
yang menggadaikan karip-nya. Sepintas
kulihat dan kudengar seorang bapak tua diperlakukan dengan ketus oleh anak-anak
muda itu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa mengelus dada dan
menggumam : ’’Begitu tragis nasib Pak Tua
itu’’. Kahar dan Matsari memandang tidak senang kepada anak-anak muda tersebut.
Aku dan teman-temanku berlalu menuju ke dalam Kantor Bank, menunggu giliran
sampai kami dipanggil. Karena pagi tadi sudah mengambil nomor antrian terlebih
dahulu, maka dalam waktu sepuluh menit sudah dilayani dan menerima uang pensiun.
Kami melangkah keluar, baru beberapa meter, dikagetkan dengan suara
keras dan beruntun. Ciiiiiit…..Suara
mencicit kendaraan direm mendadak. Diikuti suara keras ….Daaar…..Braaaak….
Disusul suara orang mengaduh, merintih dan minta tolong. Memilukan.
Kejadiannya begitu mendadak dan cepat. Sesaat kami bertiga terpana. Diam mematung. Dalam waktu singkat banyak orang berlarian menuju ke tempat kecelakaan. Tempat parkir motor dekat pintu masuk halaman Kantor Bank ini telah porak poranda. Sebuah mobil sedan telah melabrak motor-motor yang di parkir sampai ringsek berserakan.Sedan
yang sudah babak belur itu kini bertengger di tempat pemuda-pemuda debt
collector tadi. Di sekitarnya kulihat beberapa orang tergeletak, ada yang
mengaduh ada yang mengerang, ada yang diam tanpa suara sedikitpun. Masya Allah
bapak tua yang kulihat beberapa menit yang lalu, terkapar tidak bergerak. Di dalam mobil yang moncongnya ringsek, masih
ada seorang pemuda di belakang setir, keluar darah dari hidung dan mulutnya. Di
bak belakang seorang wanita muda rupanya juga sudah tidak bernyawa. Beberapa
meter ke sebelah Timur ada sebuah motor tergeletak di jalan aspal setelah
membentur pohon di pinggir jalan berikut korbannya. Sebuah motor lagi terlempar
di luar pagar halaman Kantor Bank ini, sekitar lima meter dari kami bertiga yang tadi tertegun
memandang kejadian ini. Bisa diperkirakan pengendaranya sudah mati, terlihat
tergeletak sebagian tubuhnya ditutupi koran.
Kejadiannya begitu mendadak dan cepat. Sesaat kami bertiga terpana. Diam mematung. Dalam waktu singkat banyak orang berlarian menuju ke tempat kecelakaan. Tempat parkir motor dekat pintu masuk halaman Kantor Bank ini telah porak poranda. Sebuah mobil sedan telah melabrak motor-motor yang di parkir sampai ringsek berserakan.
Sungguh mengerikan. Tubuh-tubuh
tergeletak berlumur darah di beberapa tempat. Ada yang tidak bergerak sama sekali, ada yang
merintih dan mengaduh berkepanjangan. Ada
yang di atas aspal, di dalam mobil dan di antara tempat motor diparkir. Tidak
lama kemudian polisi lalulintas datang. Disusul ambulance dengan sirene yang
memekakkan telinga. Orang-orang yang berkerumun makin banyak. Berbagai suara
orang memenuhi sekitar kecelakaan.
’’Saya minta saudara-saudara
minggir’’, teriak seorang polisi lalu lintas membuka kerumunan orang di sekitar
korban yang tergeletak di atas jalan raya. Begitulah, sebagian besar dari
mereka hanya melihat, sedikit sekali yang mau membantu polisi dan perawat yang
mengevakuasi penderita kecelakaan ke dalam ambulance. Seorang anak muda dengan
bangga bicara di kerumunan orang-orang itu.
’’Tadi saya lihat
sendiri, dari Selatan ada dua pengendara motor yang ngebut. Yang satu rupanya
kepergok angkot yang mendadak ke pinggir untuk menurunkan penumpang. Karena terlambat
mengurangi kecepatan, dia menabrak motor lain yang berjalan di muka angkot.
Melihat dua motor sudah bergelimpangan di jalan, sebuah sedan yang melaju
dengan kencang terlambat mengerem, lalu sopirnya membanting kemudinya ke kiri. Untung
tidak menghantam pohon, tetapi kendaraannya melaju naik kearah parkir motor’’. Kemudian
ada yang nyeletuk, disambung pertanyaan orang lain. Terjadi pembicaraan yang
tiada hentinya.
Kami bertiga tidak tertarik dengan
hiruk pikuk semacam ini. Kepala jadi pusing melihat darah mengalir sia-sia.
Muak mendengarkan celoteh pembual dan orang-orang yang meladeninya di kerumunan
itu. Kami kembali menyusuri trotoar yang tidak rata. Trotoar yang sempit dan
lebih dipersempit oleh pot-pot yang tanamannya tidak dirawat. Trotoar yang
diputus oleh gardu jaringan telpon dan sebagian dirambah warung makan. Trotoar
yang ada, tetapi sebenarnya keberadaannya sudah tiada. Tiada berarti bagi
pengguna yang sebenarnya. Tiada lagi yang bertanggungjawab mengelolanya. * (BSL, 12/12/12)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung di blog ini, sekarang tinggalkanlah jejak kamu di blog ini dengan cara berkomentar di kotak komentar yang sudah disediakan.
Gunakanlah akun Google kamu atau dengan menggunakan name/URL blog yang kamu punya. :-)