Senin, 28 Januari 2013

TROTOAR

     
                                  
                             
                                                                          TROTOAR
(Oleh : Trilaksito Saloedji)

Kehidupan masa kecil di kota sejuk ini terasa manis dan mengesankan. Hidup di lingkungan kampung yang tidak jauh dari jalan besar. Bermain pada siang hari selepas sekolah dengan teman-teman sekolah maupun teman lainnya. Bermain engklek, bik-thor, petak umpet atau berenang di kali Brantas. Bermain di sekitar rumah-rumah yang berhalaman luas dan rindang dengan tanaman buah-buahan maupun tanaman hias. Atau bermain di trotoar pinggir jalan raya dengan memanfaatkan kelopak palem raja yang tanggal dari batangnya. Ada yang naik pada pangkal kelopaknya sedangkan yang lain menarik pada ujungnya. Demikian bergantian kita bermain disertai derai tawa meriah bila ada yang jatuh terguling ke trotoar, karena teman yang lain sangat kuat menariknya.


Keadaan trotoar tahun sembilan belas lima puluh-an. Trotoar yang cukup lebar dan rata. Dari pasangan tegel abu-abu kehitaman berukuran dua puluh kali dua puluh centimeter. Meskipun kota sejuk ini banyak diguyur hujan, trotoar ini tidak licin. Karena tegel itu bergaris diagonal, garis yang membentuk tonjolan keluar dan lekukan ke dalam.  Orang-orang leluasa berjalan karena keadaan lengang. Pohon-pohon rindang di pinggir jalan tajuknya menaungi orang yang berjalan pada saat matahari bersinar di siang hari. Pada malam hari lampu-lampu penerangan jalan menyinarinya.

Jalan raya yang berbatasan dengan trotoar ini merupakan jalan dua arah. Arah Selatan menuju ke tengah kota dan ke terminal bis (waktu itu orang menyebutnya stasiun bis). Arah Utara kearah luar kota. Sesekali melintas di jalan raya itu demo dan atak. Yaitu kendaraan roda tiga, angkutan umum kota pada saat itu. Kadang-kadang truk, bis antar kota dan mobil pribadi meramaikan suasana. Sepeda motor yang tampak di jalanan, adalah BSA, NSU atau Harley Davidson. Yang sering hilir mudik di jalanan adalah dokar dan orang bersepeda. Semua kendaraan tersebut melaju dengan kecepatan maksimal sesuai rambu-rambu yang telah ditetapkan. Klakson dan suara knalpot kendaraan tidak mengganggu suasana. Tidak ada kesan hiruk-pikuk dan terburu-buru bersaing menjadi raja jalanan. Memang terasa suasana di jalanan nyaman dan santun.
*
Kini tahun dua ribu dua belas. Setelah purna tugas aku diminta orang tuaku kembali ke kampung halaman. Membuat rumah di dekat tempat tinggal mereka, karena halaman dan pekarangannya masih luas. Istri dan anak-anakku menyambut baik sebab terkesan akan lingkungannya yang tenang sejuk dan nyaman. Kembali ke kampung halaman. Bersua dengan beberapa teman lama, antara lain Kahar dan Matsari. Teman-teman akrabku sejak di bangku Sekolah Rakyat sampai sekolah SMP. Yang lain ada yang sudah meninggal, atau  pindah ke kota lain. Kini Kahar dan Matsari tak berbeda dengan aku. Sudah tua. Rambut sebagian memutih dengan uban, wajah mulai keriput dan penampilan yang tidak gagah lagi.

Setelah tiga puluh tahun lebih bekerja, aku ingin menikmati masa pensiun sepenuhnya. Hal ini di dukung oleh istriku yang masih aktif menjadi guru. Kahar dan Matsari adalah pensiunan PNS. Kami bertiga saling bertandang. Ngobrol dengan berbagai topik yang tiada habisnya, diselingi nostalgia masa lalu. Atau berolahraga, berjalan kaki bersama atau bermain ping-pong di rumahku sampai kelelahan.
Pada tanggal tertentu kami bersama-sama mengambil uang pensiun di bank BTPN. Letaknya tidak jauh dari tempat tinggal kami. Setelah keluar dari gapura kampung, kami sampai di trotoar yang akrab dengan kami sekian puluh tahun yang lalu. Namun sekarang pemandangannya sangat jauh berbeda. Kami bertiga membandingkan dengan keadaan yang lalu. Membicarakan dan menyayangkan perubahan yang memberi kesan pengaturan yang amburadul.  

Trotoar dari tegel dengan garis-garis diagonal sudah diganti dengan paving bersudut enam. Pohon di pinggir jalan sudah besar, akarnya muncul keluar dan melesak merusak trotoar. Trotoar menjadi tidak rata, retak-retak, tidak sedap dipandang mata dan tidak nyaman dijalaninya.
*
Pemerintah kota menghiasi pinggir trotoar dengan pot-pot bunga. Karena pot-pot itu besar  dengan sendirinya mengurangi lebar trotoar. Pot-pot itu ditanami dengan tanaman hias. Pada awalnya suasana menjadi semarak. Namun belum genap satu bulan rumput dan tanaman pengganggu sudah menyenak. Pot bunga tersebut juga berubah fungsi menjadi tempat sampah. Tempat pembuangan kertas dan kemasan plastik serta puntung rokok oleh orang-orang yang sedang lewat di situ. Baunya tidak sedap, menyengat karena ada yang mengencinginya.  Nasib tanaman hias merana, hidup tak hendak matipun tidak. Sehingga gerakan penghijauan itu tidak menambah keindahan malah mempersempit trotoar, dan menyebalkan pandangan mata.

Dulu di sisi Barat sepanjang trotoar ini berdiri rumah-rumah besar dengan bentuk yang anggun. Halaman muka yang luas ditanami bunga-bunga sehingga menampakkan keindahannya. Namun sekarang suasana telah berubah. Rumah-rumah tersebut tiada lagi. Telah berubah bentuk sesuai peruntukannya. Ada yang menjadi tempat usaha, toko, rumah makan, show room mobil dan motor serta tempat servicenya.. Sebagian menjadi Kantor Asuransi, Kantor Usaha Travel, dan beberapa Kantor Bank, dan sebuah Kantor Pemerintah. Para pemilik atau penguasa bangunan-bangunan membuat jalan keluar masuk (mobil) yang memotong trotoar tersebut dengan merubah ketinggian trotoar sesuai keperluan mereka. Sehingga trotoar menjadi tidak rata dan tidak nyaman bagi pejalan kaki. Di sebuah tempat, didirikan gardu jaringan telpon yang memakan beberapa meter panjang dan selebar trotoar ini, sehingga memotong trotoar ini. Bahkan pada satu tempat, trotoar tersebut berkurang lebarnya karena ada bangunan semi permanen warung-warung makan.

Pada siang sampai sore hari trotoar itu berubah fungsi, menjadi tempat parkir mobil dan motor. Karena halaman toko, show room mobil dan  servis motor serta kantor-kantor tersebut tidak bisa menampung semua kendaraan pelanggan atau tamu mereka. Alih-alih pejalan kaki mau santai menyusuri trotoar dengan tenang, justru sering dikagetkan deru dan klakson mobil dan motor yang mendadak mendekat untuk parkir di trotoar. Ditingkah suara peluit tukang parkir yang memekakkan telinga. Berjalan dengan hati was-was, turun ke pinggir jalan aspal. Menghindar dari genangan air yang tidak mendapat jalan salurnya. Si pejalan kaki terpaksa sedikit ke tengah, nyaris berpapasan dengan kendaraan angkot dan sepeda motor. Tidak ada lagi ketenteraman bagi pejalan kaki. Hak-hak pribadi dan keselamatan orang tidak ada lagi yang menghiraukan. Rasanya  kepedulian terhadap sesama sudah hilang dari pikiran yang waras.
*
Pada hari-hari  pembayaran pensiun. Suasana trotoar sekitar Kantor Bank yang akan membayarkan pensiun ini makin ramai. Parkir sepeda motor menyita seluruh trotoar sekitar Kantor Bank. Orang tidak lagi berjalan di trotoar tetapi terpaksa berjalan di pinggir jalan raya yang padat dengan lalu lintas kendaraan bermotor. Di atas sadel motor yang diparkir dekat pintu halaman Kantor Bank, duduk menanti beberapa orang muda yang kerjanya sebagai debt collector. Menunggu para pensiunan yang menggadaikan karip-nya. Sepintas kulihat dan kudengar seorang bapak tua diperlakukan dengan ketus oleh anak-anak muda itu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa mengelus dada dan menggumam :  ’’Begitu tragis nasib Pak Tua itu’’. Kahar dan Matsari memandang tidak senang kepada anak-anak muda tersebut.

Aku dan teman-temanku berlalu menuju ke dalam Kantor Bank, menunggu giliran sampai kami dipanggil. Karena pagi tadi sudah mengambil nomor antrian terlebih dahulu, maka dalam waktu sepuluh menit sudah dilayani dan menerima uang pensiun. Kami melangkah keluar, baru beberapa meter, dikagetkan dengan suara keras dan beruntun. Ciiiiiit…..Suara mencicit kendaraan direm mendadak. Diikuti suara keras ….Daaar…..Braaaak…. Disusul suara orang mengaduh, merintih dan minta tolong. Memilukan. 

Kejadiannya begitu mendadak dan cepat. Sesaat kami bertiga terpana. Diam mematung.  Dalam waktu singkat banyak orang berlarian menuju ke tempat kecelakaan. Tempat parkir motor dekat pintu masuk halaman Kantor Bank ini telah porak poranda. Sebuah mobil sedan telah melabrak  motor-motor yang di parkir sampai ringsek berserakan. Sedan yang sudah babak belur itu kini bertengger di tempat pemuda-pemuda debt collector tadi. Di sekitarnya kulihat beberapa orang tergeletak, ada yang mengaduh ada yang mengerang, ada yang diam tanpa suara sedikitpun. Masya Allah bapak tua yang kulihat beberapa menit yang lalu, terkapar tidak bergerak.  Di dalam mobil yang moncongnya ringsek, masih ada seorang pemuda di belakang setir, keluar darah dari hidung dan mulutnya. Di bak belakang seorang wanita muda rupanya juga sudah tidak bernyawa. Beberapa meter ke sebelah Timur ada sebuah motor tergeletak di jalan aspal setelah membentur pohon di pinggir jalan berikut korbannya. Sebuah motor lagi terlempar di luar pagar halaman Kantor Bank ini, sekitar lima meter dari kami bertiga yang tadi tertegun memandang kejadian ini. Bisa diperkirakan pengendaranya sudah mati, terlihat tergeletak sebagian tubuhnya ditutupi koran.

Sungguh mengerikan. Tubuh-tubuh tergeletak berlumur darah di beberapa tempat. Ada yang tidak bergerak sama sekali, ada yang merintih dan mengaduh berkepanjangan. Ada yang di atas aspal, di dalam mobil dan di antara tempat motor diparkir. Tidak lama kemudian polisi lalulintas datang. Disusul ambulance dengan sirene yang memekakkan telinga. Orang-orang yang berkerumun makin banyak. Berbagai suara orang memenuhi sekitar kecelakaan.

’’Saya minta saudara-saudara minggir’’, teriak seorang polisi lalu lintas membuka kerumunan orang di sekitar korban yang tergeletak di atas jalan raya. Begitulah, sebagian besar dari mereka hanya melihat, sedikit sekali yang mau membantu polisi dan perawat yang mengevakuasi penderita kecelakaan ke dalam ambulance. Seorang anak muda dengan bangga bicara di kerumunan orang-orang itu.

’’Tadi saya lihat sendiri, dari Selatan ada dua pengendara motor yang ngebut. Yang satu rupanya kepergok angkot yang mendadak ke pinggir untuk menurunkan penumpang. Karena terlambat mengurangi kecepatan, dia menabrak motor lain yang berjalan di muka angkot. Melihat dua motor sudah bergelimpangan di jalan, sebuah sedan yang melaju dengan kencang terlambat mengerem, lalu sopirnya membanting kemudinya ke kiri. Untung tidak menghantam pohon, tetapi kendaraannya melaju naik kearah parkir motor’’. Kemudian ada yang nyeletuk, disambung pertanyaan orang lain. Terjadi pembicaraan yang tiada hentinya.

Kami bertiga tidak tertarik dengan hiruk pikuk semacam ini. Kepala jadi pusing melihat darah mengalir sia-sia. Muak mendengarkan celoteh pembual dan orang-orang yang meladeninya di kerumunan itu. Kami kembali menyusuri trotoar yang tidak rata. Trotoar yang sempit dan lebih dipersempit oleh pot-pot yang tanamannya tidak dirawat. Trotoar yang diputus oleh gardu jaringan telpon dan sebagian dirambah warung makan. Trotoar yang ada, tetapi sebenarnya keberadaannya sudah tiada. Tiada berarti bagi pengguna yang sebenarnya. Tiada lagi yang bertanggungjawab mengelolanya. *  (BSL, 12/12/12)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung di blog ini, sekarang tinggalkanlah jejak kamu di blog ini dengan cara berkomentar di kotak komentar yang sudah disediakan.
Gunakanlah akun Google kamu atau dengan menggunakan name/URL blog yang kamu punya. :-)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...