Senin, 20 Oktober 2014

CAAS - (10) - '' N E G ''

CAAS - (10) - '' N E G ''
(Trilaksito Saloedji)

Ini cerita putraku yang pernah ‘’mengembara’’ di kota Pangkal Pinang pulau Bangka.

Sebagai orang muda aku suka bergaul. Maka di kota pengembaraanku itu aku mempunyai banyak teman. Tentu saja aku tidak sembarangan dalam mendapatkan teman. Komunitas pergaulanku masih positip. Biasanya ramai-ramai berwisata dan makan-makan.

Masyarakat di sini suka makan ikan, baik ikan laut maupun ikan darat. Ketika baru beberapa minggu di kota Pangkal Pinang, aku diajak teman-teman untuk menghadiri undangan makan.
Di tempat perhelatan telah disiapkan berbagai ikan, dimasak dengan aroma yang mengundang selera makan. Ada masakan ikan pari (yang panjangnya sekitar 20 cm), ikan nus, ikan patin dll.
Yang mempunyai hajat sangat ramah, mempersilakan kami makan. Aku sangat menikmati ikan pari yang dimasak dengan bumbu yang berwarna kuning demgam irisan nanas. Rasanya nikmat segar. Teman-teman dengan leluasanya mengambil dan menambah lauk.
Mungkin si empunya rumah melihat aku ‘’kikuk’’, terlihat malu-malu. Maka beliau mendekati, menyodorkan lauk di piring sambil berkata dengan bahasa daerah setempat :
‘’Ikak neg?’’
Aku heran, tidak mengerti arti perkataannya. Kupikir beliau bertanya apakah  masakan yang kumakan ‘’menimbulkan rasa NEG’’. Rasa yang membuat mual, ingin muntah. Maka aku menjawab dengan sopan dan tersenyum :
‘’Tidak, terimakasih’’, aku meneruskan makan apa yang ada di piringku. Sedangkan teman teman yang lain masih menikmati hidangan yang tersaji di meja makan.

Sewaktu  dalam perjalanan pulang, seorang teman bertanya :
‘’Ketika kamu ditawari untuk menambah lauk, mengapa kau tolak?’’
‘’Kupikir beliau bertanya, apakah masakannya menimbulkan “rasa neg”, rasa mual ingin muntah’’. Kedua temanku tertawa terbahak-bahak. Lalu yang seorang menerangkan :

‘’IKAK NEG itu artinya : anda suka?  Atau anda ingin tambah ..........?’’ *

CAAS - (8) - TERORIS

CAAS - (8) - TERORIS
(Trilaksito Saloedji)

Sesudah waktu asar, angin bertiup makin kencang. Suaranya bergemuruh. Daun, ranting serta cabang pohon bergoyang. Rumpun bambu di kejauhan tampak meliuk-liuk seperti menari dengan lemah gemulai. Aku dan isteriku lebih senang berada di dalam rumah. Semua jendela, pintu muka dan belakang ditutup.

Menjelang maghrib keadaan berangsur tenang kembali. Aku keluar melalui pintu ruang makan / ruang keluarga menuju kamar mandi luar, untuk wudhu’.  Tiba-tiba terdengar isteriku berteriak dari dalam rumah.
-          ‘’Pak .........Pak ........!!!!’’.
Aku segera bergegas kembali menuju ke ruang dalam, dengan berbagai tanda tanya di benak.
-          Ada apa ....... ?’’, tanyaku.
Isteriku terlihat pucat pasi. Berdiri gemetar di pintu terbuka, yang menghubungkan ruang keluarga ke dapur dalam. Ujung jari telunjuk tangan kanannya, menunjuk ke lantai dapur.

Masyaallah ..............., ada sesuatu di lantai keramik berwarna putih. Seekor ular sebesar  ibu jari orang dewasa,  melingkar dengan tenangnya. Tubuhnya berwarna kuning kehitaman.

-          ‘’Ambil garam’’, pintaku kepada isteri. Aku tetap mengawasi. Aku berpikir, dari mana
datangnya ular ini? Apa yang akan kulakukan selanjutnya? Garam halus kusebarkan tanpa perhitungan lagi,  pada radius 30 cm dari ular. Aku segera mengambil tongkat kebun dari pipa besi, yang ujungnya seperti kapak yang tajam, serta sabit panjang. Garam kusebar lagi dengan radius lebih menyempit dari ular tersebut. Rupanya dia terprovokasi. Bergerak dengan mendongakkan kepalanya. Warna kuning kehitamannya lebih nyata. Mungkin ini ular weling.

Aku menggunakan tongkat pipa besi. – ‘’Bismillaahirrahmaanirrahim’’. Hunjaman demi hinjaman ujung tongkat  ke tubuhnya selalu meleset. Dia makin liar. Tapi belum keluar dari barikade garam. Aku sempat panik. Aku ganti bersenjatakan arit panjang. Kuarahkan punggung sabit ke sasaran.Sekali hentakan tubuhnya terpotong menjadi dua. Namun ke dua potongan itu bergerak makin liar. Akhirnya ...... teroris itu dapat kuatasi bersamaan kumandang adzan maghrib.  

Kami berdua berandai-andai. Kecil kemungkinan ular itu datang dari belakang. Apalagi dari muka, karena harus melalui car-port dan garasi yang tertutup. Jangan jangan........ (Pikiran fantastis ini tidak kami teruskan ............. khawatir anda terbawa fantasi yang bukan-bukan). *

(Bsl/110914) 

CAAS - (7) - HARAM .......... HARAM .........

CAAS - (7) - HARAM ......... HARAM ..........
(Trilaksito Saloedji)

Setelah shalat isya’ di Masjidil Haram kami langsung pulang ke maktab. Makan dan istirahat, lalu keluar dari kamar, duduk di lobby yang tidak begitu luas. Jamaah lelaki bercengkerama sambil menikmati teh susu atau kopi susu yang dijual di lobby itu.

Pembicaraan malam ini, seputar perjalanan rombongan kami ke Tan’im tadi pagi. Tidak lama kemudian masuklah ke lobby, dua orang teman kami dalam keadaan payah dan lusuh. Kami heran, tentu ada sesuatu yang menimpa mereka. Apakah mereka, Pak Awi dan Pak Madji tersesat?

Diantara kami ada yang menyapa : ‘’Pak Awi, baru datang?’’
Pak Madji yang menjawab : ‘’Ya, tadi kita ketinggalan bis’’
Yang lain menyahut, tidak percaya : ‘’Ketinggalan di Tan’im?’’
Keduanya mengangguk.  ‘’Bagaimana kejadiannya?’’, ada yang bertanya.

Setelah Pak Awi dan Pak Madji duduk, dan dibawakan kepada mereka dua gelas kopi susu, maka Pak Madji bercerita. Bahwa ketika rombongan keluar dari shalat dhuhur di masjid Tan’im, keduanya ke kamar mandi/wc, untuk BAB.

Setelah selesai, keduanya kebingungan mencari rombongannya. Mengetahui bahwa telah ditinggal, maka mereka mencari kendaraan umum yang akan ke Makkah. Setiap ada bis atau kendaraan umum lewat, pengemudi dan pembantunya berteriak :  ‘’Haram ..... Haram .......’’.   
Pikir Pak Awi dan Pak Madji, kendaraan itu bukan atau tidak boleh untuk tumpangan (karena haram).


Demikian sampai berjam-jam mereka berdiri di pinggir jalan. Akhirnya ada orang lewat, rupanya tahu masalah keduanya. Maka ketika ada bis dan menawarkan :  ‘’Haram .... Haram ......’’. Orang itu menghentikan, dan berkata kepada keduanya : ‘’Masjidil Haram......’’.

CAAS - (6) - TUKANG PIJAT

CAAS - (6) - TUKANG PIJAT
(Trilaksito Saloedji)

Bardi punya hobby menanam tanaman hias maupun tanaman buah di dalam pot.
Suatu hari terjadilah malapetaka itu. Dia  memindahkan sebuah pot  (tanaman buah) yang cukup besar, ke tempat lain. Kemudian terasa ada yang kurang beres pada tubuhnya. Berjalan tidak bisa tegak lagi, ada rasa sakit, nyeri yang menganggu di punggungnya.

Esoknya dia ke dokter umum, lalu dirujuk ke dokter spesialis orthopedi. Setelah melalui beberapa proses pemeriksaan dengan alat-alat kedokteran, Bardi disarankan untuk operasi. Namun dia takut operasi.

Mendengar temannya sakit, Winto menjenguk ke rumahnya. Melihat penderitaan Bardi, dia mengajak ke tukang pijat. Awalnya Bardi menolak, karena khawatir sakitnya akan makin parah. Setelah diyakinkan, akhirnya Bardi mengikuti saran Winto.

Sore itu juga Winto mengantar Bardi ke tukang pijat yang pernah dikenalnya..
Tukang pijat itu bertanya : ‘’Mana yang sakit?’’
‘’Punggung saya Pak, sakit dan nyeri setelah mengangkat pot tanaman’’
‘’Coba saya periksanya’’
‘’Sebentar, saya buka baju dulu Pak’’, kata Bardi.
‘’Tidak usah, berdiri saja dekat saya’’.

Tukang pijat itu kemudian meletakkan tangan kanannya di punggung Bardi yang sakit. Kemudian telapak tangannya dinaikkan dan diturunkan berulang-ulang. Tidak sampai lima belas menit pekerjaan itu diakhiri.

Sekarang Bardi bisa berjalan tegak lagi.. Dalam perjalanan pulang, rasa sakitnya sudah berkurang. Rona mukanya menunjukkan keceriaan.
Kata Bardi : ‘’Heran, kenapa tidak disediakan dipan untuk pasien. Memijatnya kan lebih santai‘’.
Winto menjawab sekenanya : ‘’Habis kebanyakan pasiennya suka berdiri sih. Mana mungkin memaksa pasiennya rebahan di dipan. ’’.
‘’Maksud Bang Winto?’’, Bardi tidak mengerti maksudnya.
‘’Tukang Pijat tadi,  selain memijat orang, juga memijat .............sapi kerapan’’.

‘’Jadi .....................?’’. Bardi ternganga heran. * (Bsl,180914)  

CAAS - ( 5) - NGIDAM

CAAS - (5) - NGIDAM
(Trilaksito Saloedji)

Pagi itu aku merawat tanaman dan membersihkan rumput di halaman depan rumah. Terlihat sebuah motor berhenti di bawah pohon mangga di seberang jalan, sekitar  8 meter dari tempatku. Pengemudinya seorang lelaki yang masih muda. Seorang perempuan turun dari boncengan. Keduanya mendongakkan kepalanya ke atas. Melihat buah mangga yang bergelantungan pada tangkainya.

Kemudian motor itu dijalankan pelan-pelan. Pandangan mereka kebanyakan ke atas, ke pohon-pohon mangga yang ditanam di pinggir jalan komplek perumahan tempat tinggalku. Lalu mereka kembali ke tempat awal berhenti tadi.

Sepeda motor diparkir, yang perempuan membuka tas dan mengeluarkan beberapa kresek plastik. Si lelaki dengan tangkasnya memanjat batang dan dahan. Dengan leluasa memetik dan menjatuhkan buah-buah mangga itu. Si perempuan memasukkannya ke dalam kresek-kresek yang telah disiapkan.


Aku asyik memperhatikan mereka. Mata si perempuan tersipu bersipandang dengan aku. Terlontar dari mulutnya : ‘’Minta ijin, untuk orang ngidam’’. Yang lelaki lalu turun, ikut memasukkan buah mangga  ke dalam kresek. Motor distarter, yang perempuan mengangkat tiga kresek penuh buah mangga, tanpa menoleh kepadaku. (Bsl, 300914)

CAAS - (4) - SUPPORTER BONEK

CAAS - (4) - SUPPORTER BONEK
(Trilaksito Saloedji)

Sejak pagi Heri merasa tidak sehat, tetapi tetap masuk ke kantor. Menjelang siang terasa pusing, badannya kedinginan. Makin lama terasa makin pusing dan menggigil. Temannya mengantarkan ke RSU tidak jauh dari kantornya. Di IGD, diambil darahnya untuk diperiksa di laboratorium. Heri diinfus. Hasil lab, kemungkinan Heri menderita Demam Berdarah.

Opname, ditempatkan di ruang kelas satu. Sebuah ruang, sekitar empat kali empat meter. Dengan kamar mandi di dalam. Tertata dua buah bed standard, dan dua buah meja kecil tinggi, serta dua buah kursi. Ada tabung gas besar, dan tiang untuk botol infus.

Lima hari pertama, di dalam ruang itu pasiennya hanya Heri sendirian. Jadi keluarganya leluasa untuk menjenguk dan ada yang menemani pada malam hari.

Namun tengah malam menjelang hari ke enam, masuklah pasien baru. Seorang pasien lelaki tua. Diantar isteri dan empat orang dewasa lelaki dan perempuan. Suasana kamar yang semula hening menjadi bising. Perawat keluar masuk ruang untuk memantau peralatan deteksi jantung. Suara keluarga pasien yang bersahutan tidak mempedulikan orang lain.

Esoknya, bertepatan hari Minggu. Sejak pagi tamu berdatangan menjenguk lelaki tua itu. Kadang sampai delapan orang mengelilingi tempat tidurnya. Siang hari makin banyak yang datang, lelaki dan perempuan dengan anak-anak kecil. Isteri lelaki tua itu sibuk menerima jabat tangan dan amplop. (Seperti ang pao hajatan saja). Suasana ruang makin pengap dan makin bising.

Tamu-tamu itu lalu memasang alas di serambi luar kamar. Membuka bekal dan makan bersama dengan keluarganya. Layaknya berwisata saja. Sampai malam pengunjung masih ada.  Sebagian tidak pulang. Menggelar tikar atau alas lainnya untuk tidur di lantai serambi luar kamar, tanpa peduli bahwa itu akses jalan orang lain. Ternyata supporter tidak hanya di bidang olah raga. Supporter juga ada di Rumah Sakit.


Pada hari ke tujuh, dokter memeriksa Heri. Menyatakan bahwa dia boleh pulang. Alhamdulillah. Rasa syukur, karena sembuh dari penyakit yang dideritanya. Rasa syukur juga, karena  lepas dari  tingkah laku dan celoteh ‘’SUPPORTER  BONEK’’.

CAAS - (3) - SAMBAL

CAAS - (3) - SAMBAL
(Trilaksito Saloedji)

Sejak sama-sama bujangan, aku dan Mas Darta  bekerja dalam satu kantor dan tinggal satu mess. Setelah menikah dan pindah ke lain kota, hubungan kami tetap baik. Saling berkunjung.

Akhir minggu ini aku dan isteriku ke rumahnya. Dijamu makan malam. Di atas meja makan tersedia lauk yang menggugah selera makan. Sop sayur dilengkapi dengan bakso, ayam goreng dan lalapan serta sambal terasi yang baunya merangsang.

Kami ber-empat makan sambil bercakap-cakap dengan santai. Kesukaan Mas Darta akan lalapan rupanya tetap seperti dulu. Daun selada yang hijau segar, mentimun dan kacang panjang, dilahapnya. Tetapi yang mengherankan dia tidak mengambil sambal terasi sedikit pun.

‘’Mas sekarang tak suka sambal?’’, tanyaku. Yang menjawab isterinya :
‘’Siapa bilang, Mas Darta sekarang sambalnya istimewa, lihat tuh’’
Aku melihat, di dekat piring Mas Darta ada sebuah piring kecil. Isinya beberapa cabe rawit lengkap dengan tangkainya, garam dapur, terasi dan sendok kecil.

Kami melihat Mas Darta memegang tangkai cabe. Lalu ujung cabe dicocolkan ke garam dan ke terasi. Setelah keduanya melekat pada cabe, lalu digigitnya. Dia lalu mengambil daun selada atau lainnya dan memasukkan ke mulut untuk dikunyah bersama-sama cabe tadi. Kami keheranan memandangnya.
‘’Mulai kapan Mas “nguleg”  (bahan sambal) itu dalam mulut?’’, tanyaku disambut tawa yang hadir di situ.
‘’Tanya saja kepada Mbakyumu’’.

Lalu isterinya cerita. Suatu sore ketika dia sudah dijemput kendaraan untuk pergi bersama ibu-ibu yang lain, bersamaan dengan datangnya Mas Darta dari kantor.
Isterinya berpesan : ‘’Mas, makanan sudah siap di meja makan, hanya sambelnya belum ku “uleg” (dihaluskan dengan uleg-uleg), aku pergi dulu’’.

Kemudian Mas Darta melanjutkan :  ‘’Melihat cobek dan isinya, malas untuk “nguleg”, maka aku mengambil cabe rawit, kucocolkan ke garam dan terasi, lalu kugigit. Ternyata asyik juga. Aku bisa memperkirakan “imbangan rasa” ketiga bahan tersebut di dalam mulut’’.


‘’Kalau semua orang seperti Mas Darta, tidak ada lagi orang jualan cobek’’. Yang lain tertawa. *

CAAS - (2) - LAUK

CAAS - (2) - LAUK
(Trilaksito Saloedji)

Setelah makan malam, isteriku berkata : ‘’Nuning tadi siang telpon’’.
‘’Apa katanya?’’, tanyaku sambil menoleh, tanpa melepaskan buku yang kupegang.
‘’Katanya, Ibu sakit’’

Ruang keluarga ini kembali hening. Terdengar suara anakku sedang menghafal pelajaram sekolah, di kamarnya yang terbuka. Komunikasi dengan Ibu dijembatani Nuning. Seorang kemenakan yang mendampingi dan merawat Ibu. Mereka berdua tinggal di kota Malang. Putra-putri dan menantu beliau hidup terpencar di beberapa kota. Tempat tinggal kami adalah yang paling dekat dari Malang.

‘’Sakit apa?’’
‘’Katanya Ibu pusing’’.
‘’Baiklah, besuk usai dinas kita ke Malang’’, jawabku memberi solusi.
Anakku bersorak mendengar kalau besuk ke Malang. Aku tersenyum. 

Esoknya kami jadi ke Malang. Pukul empat sore kami telah masuk halaman rumah ibu. Mendengar suara mobil, Nuning membuka pintu rumah. Menyambut kami dengan gembira.

Ketegangan nampak di raut muka isteriku. ‘’Ning, bagaimana sakitnya Bude?’’, tanya isteriku. (Bude adalah ibunya isteriku, dan Budenya Nuning).
‘’Biasalah’’, kemudian dilanjutkan : ‘’Seharian tadi duduk, ee ...mendengar suara mobil masuk, Bude lalu tiduran’’, katanya sambil tersenyum. Aku tersenyum. ‘’Sakit rindu ..........’’.

Pertemuan yang heboh, seperti biasanya. Ibu mengeluhkan beberapa penyakitnya. Isteriku jadi pendengar yang baik. Anakku tidak terpengaruh, dia sibuk mempermainkan si manis, kucing peliharaan ibu.

Waktu makan malam. Kami berempat di meja makan. Hidangan yang tersedia  (selain masakan Nuning),  juga makanan bawaan isteriku. Rawon ‘’Nguling’’ (kesukaan ibu), sate kerang, abon daging, buahnya mangga ‘’Gadung’’ atau ‘’Manalagi Situbondo’’ yang manis ranum.
Ibu makan dengan lahap. Sekian banyak lauk yang tersedia tidak disentuh satupun, kecuali irisan buah mangga. Ya, beliau makan nasi dengan ‘’lauk irisan buah mangga’’ saja. * 

CAAS - (1) - BAWANG MERAH

CAAS - (1) - BAWANG MERAH
(Trilaksito Saloedji)

Hari Minggu ini tidak dapat  kunikmati berdua dengan isteriku. Sejak pagi tadi, dia pergi bersama ibu-ibu ke Surabaya. Sebagai pengurus paguyuban ibu-ibu di instansi ini, setiap bulan sekali belanja untuk  ‘’meja penjualan’’ organisasinya.

Setelah berolah raga sampai pukul 09.00, aku pulang. Ketika masih di dalam kamar mandi ada suara heboh di luar. Terdengar suara lelaki, lalu pembantu perempuan menangis. Ada apa gerangan? Aku cepat keluar. Mbok Djum sambil menangis berkata, bahwa anaknya di daerah Jember meninggal.
‘’Siapa yang memberi kabar?’’, tanyaku.
‘’Ini adik saya’’.

Setelah Mbok Djum pergi dengan adiknya, lengkaplah keheningan di rumah ini. Aku masuk dapur. Kompor dalam keadaan mati. Kembali ke ruang dalam. Di meja makan tersaji : sepiring tempe goreng, sepiring tahu goreng dan seekor bandeng goreng. Rupanya Mbok Djum belum sempat membuat sayur dan sambal kesukaanku.

Perut sudah lapar. Membuka lemari makan dan kulkas. Mencari sesuatu yang bisa menambah selera makan. Maksudku lalapan (semacam mentimun, kacang panjang, selada) dan sambal. Tiada sesuatu pun. Malahan aku bersin beberapa kali. Alhamdulillah. Rasanya badan letih, seperti mau flu.

Ingat ketika dijamu makan di rumah Mas Parto beberapa bulan yang lalu. Aku melangkah ke dapur, mengupas beberapa butir bawang merah. Mencucinya, lalu kuiris-iris. Jadilah ‘’sambal kecap irisan bawang merah’’.

Aku makan, lahap sekali. Kenikmatannya diiringi suara bawang merah yang beradu dengan gigiku. Pedasnya membuat badanku berpeluh.

Ketika aku duduk nonton teve, ingat pembicaraan di rumah Mas Parto.
‘’Mas begitu suka dengan sambal kecap irisan bawang merah ini’’

‘’Ya, selain sebagai pelengkap lauk, bagiku dapat meningkatkan daya tahan tubuh’’.*

Rabu, 02 April 2014

MALANG TEMPO DOELOE dalam CERITA (7) 

DEMI ....................  TEBU
(Trilaksito Saloedji)

Waktu itu aku masih kelas satu SMP. Bersama orangtua dan saudara-saudaraku tinggal di Jalan Bandung Gang I (sekarang Jalan Batujajar). Aku mempunyai teman sekelas dan teman akrab, tinggal di Jalan Jakarta Gang I. Namanya Djupri. Kami sering bermain atau belajar bersama, di rumahku atau di rumahnya. Sehingga kami sangat mengenal dan akrab dengan  orang tua dan saudara-saudara kami masing-masing.

Suatu sore, ketika aku ke rumahnya diajak ke dapur. Terlihat setumpuk batang tebu. Dia mengambil dua buah pisau. Maka kami berdua mengupas kulitnya, mengerat lalu mengunyahnya. Rasanya manis sekali. Aku bertanya : ‘’Pri, tebu sekian banyak ini dapat dari mana?’’
‘’Kakakku yang mengambil dari lori yang membawa tebu ke Pabrik Kebon Agung.

Sambil makan tebu dia bercerita. Pada musim giling, tebu di kebun ditebang lalu dimuat di lori. Pada malam hari rangkaian lori itu ditarik lokomotif. Antara lain lewat Samaan, jembatan di atas Kali Brantas dan Jalan Oro-Oro Dowo, lewat di sekitar Jalan Jakarta, Gading Kasri, Taman Gayam/Bareng, Mergan dan seterusnya sampai di Pabrik Gula Kebon Agung.
Ketika dari jauh terdengar lengking peluit lokomotif menyobek gelap malam, dan  nyala oncor di atas lori berkelebat tertiup angin,  kakak Djupri dan anak-anak muda lainnya siap di tempat-tempat yang memudahkan mereka naik ke lori. Meski masinis memacu laju lokomotifnya, anak-anak muda itu dengan keberanian dan kecekatannya, sebagian bisa naik ke atas lori. Lalu menurunkan berkolong-kolong tebu ke tanah. Kerja mereka bukan tanpa resiko. Gagal naik ke atas lori, jatuh dan terluka. Atau kena sabet pentungan beberapa waker (penjaga tebu) yang naik di atas muatan tebu.

Kemudian aku meneruskan ke Sekolah Pertanian, Djupri ke STM. Kami jarang bertemu. Setelah aku bekerja di Pabrik Gula, ketika cuti kusempatkan ke rumahnya. Bertemu bapak dan ibu serta kakaknya. Suasana haru setelah sekian tahun tidak bertemu. Dan pilu karena melihat kakak Djupri. Berjalan tertatih-tatih, ditopang dua buah tongkat di ketiaknya. Sebuah kakinya dibawah lutut diamputasi. Ceritanya pada saat meloncat turun dari lori, dia terpeleset, jatuh dan kakinya tergilas roda lori. Demi ........tebu. *
Bsl/ 010414

MALANG TEMPO DOELOE dalam CERITA (6) 

ADA BUAYA ............
(Trilaksito Saloedji)

- Ada buaya ....! - Di mana? - Di kota Malang?
- -  Ya, di mana lagi. Ini kan Cerita tentang Malang Tempo Doeloe. Jadi kejadiannya ya di kota Malang.
- Ah, yang benar. Mana mungkin. Buaya itu biasanya hidup di kuala atau muara sungai, atau di kebun binatang. Sedangkan Kota Malang jauh dari laut dan tidak mempunyai kebun binatang.


Kejadiannya sekitar akhir dasawarsa limapuluhan. Aku masih sekolah di SMPK Oro-Oro Dowo. Pada waktu istirahat, sebagian siswanya berbondong-bondong keluar lewat halaman belakang. Menyusuri pinggir ( Barat) kali Brantas, lalu lewat jembatan gantung. Sampailah di halaman belakang SGA Katholik Celaket. Lewat samping kanannya, sampailah di trotoir Jalan Celaket. Sebelah kanan adalah asrama Polisi. Sampai di trotoir jembatan, di bawahnya adalah kali Brantas yang mengalir dari arah Barat / Barat Laut. Di situ ada kerumunan orang. Kamipun berhenti dan bertanya-tanya.
- Ada apa? Orang-orang di pagar jembatan mengarahkan tubuh dan pandangannya ke air kali yang dengan lincah melewati bebatuan dan menyusuri jeram-jeramnya.
- Ada buaya!
- Mana? Di mana?
- Kadang-kadang nampak, kalau airnya agak surut.

Kami melanjutkan langkah, melewati sebuah bangunan (sekarang Hotel Graha Kartika), pertokoan (sekarang Avia), lewat Jalan Oro-Oro Dowo, lalu masuk gang, sampailah kami kembali di belakang halaman sekolah.

Demikian berita heboh itu berlangsung beberapa hari atau beberapa minggu. Tetapi anehnya kemunculan buaya yang menghebohkan itu katanya hanya di satu tempat, yang nampak dari pagar jembatan.

Suatu saat air kali agak surut. Berita heboh itu terkuak. Memang benar ada penampakan buaya di tengah kali Brantas. Tetapi buaya itu tetap diam saja. Setelah diamati ternyata adalah batu yang dipahat seperti buaya, oleh seorang seniman.

Aku tidak mengikuti berita selanjutnya. Siapa seniman yang kreatip itu?  Kapan dia  melaksanakan karyanya?  Karena aku lalu pindah sekolah. Mungkin ada Arema yang lebih tahu/mendengar tentang hal ini, silakan tulisanku ini disempurnakan.* (Bsl, 090314)

MALANG TEMPO DOELOE dalam CERITA (5) 

PECEL MBEBEKAN
(Trilaksito Saloedji)

Sekitar akhir dasawarsa limapuluhan dan awal dasawarsa enampuluhan,  “Mbebekan” menjadi terkenal. Mbebekan adalah nama sebuah pedukuhan. Letaknya di sekitar Jalan Langsep Malang.

Terkenal karena mempunyai kekhasan. Yaitu Pecel Mbebekan. Sayurannya adalah “semanggi” dan kecambah (taoge). Beberapa ibu-ibu menjajakan dagangannya dari rumah ke rumah, dari kampung ke kampung.

Dagangannya ditempatkan di bakul dan semacam baki di atasnya. Bakul dan baki tersebut “disunggi” di atas kepalanya yang diberi alas kain tebal.

Sebagai kelengkapan pecel, dijual “dadar jagung” yang dibuat tipis melebar seperti “rempeyek kacang”.*

MALANG TEMPO DULU dalam CERITA (4) 

LAMBAUW
(Trilaksito Saloedji)

Kebanyakan orang mengenal dan menyebut LAMBAUW,  atas sebuah kawasan di Jalan Tanjung Malang. Kawasan itu luasnya lebih dari 30 Hektare. Sejak tahun 1927 dijadikan Sekolah Pertanian (Cultuur shool/CS). Pada jaman Jepang dinamakan SPMT (Sekolah Pertanian Menengah Tinggi). Setelah Kemerdekaan, menjadi SPMA (Sekolah Pertanian Menengah Atas Negeri).

LAMBAUW adalah istilah “kaprah” dari kata yang benar dalam bahasa Belanda yaitu LANDBOUW yang artinya : Berladang/Berkebun. Kawasan itu terdiri dari bangunan gedung, lapangan sepak bola dan volley-bal, serta lahan untuk bercocok tanam yang cukup luas.
Bangunannya terdiri dari gedung sekolah (ruang sekolah dan  kantor), ruang olah raga, aula, asrama (putra dan putri), perumahan guru, gudang dan gudang alat-alat pertanian, garasi dan bengkel (traktor dan alat-alat pertanian), serta green-house. Ada juga sebuah ruang terbuka untuk penggilingan tebu.

Lahan pertanian ditanami tanaman keras dan tanaman semusim. Tanaman keras meliputi :
tanaman kopi, karet, kelapa sawit, kina, coklat. Tanaman semusim terdiri dari padi, jagung, tebu, kacang tanah, ubi jalar. Serta tanaman buah-buahan, antara lain jeruk, semangka
Ada juga kebun bunga dan anggrek yang ditanam di green-house.

Tempat pendidikan pertanian itu telah melahirkan ahli-ahli pertanian yang mengabdikan dirinya  di pemerintahan dan swasta. Beberapa diantaranya ada yang menjadi pejabat tinggi antara lain Menteri Pertanian pada jaman Orde Baru.

Sangat disayangkan mulai akhir abad ke 20, kita tidak dapat menemukan LAMBAUW  lagi.  Kawasan hijau yang bisa menjadi penyerap air itu, telah di-alih fungsikan menjadi kawasan perumahan elite. Kita tidak dapat menemukan “cagar sejarah” yang menandai KOTA MALANG sebagai KOTA yang INDAH. * (bsl, 24/02/14).

MALANG TEMPO DOELOE dalam CERITA (3) 

GRABAH  NJENGGRIK
(Trilaksito Saloedji)

GRABAH adalah barang-barang keperluan rumah tangga atau barang-barang untuk hiasan, yang terbuat dari tanah. Antara lain kendi yaitu tempat air untuk minum, kuali adalah tempat menjerang air, gentong ialah tempat menyimpan air, dandang adalah tempat menanak nasi, layah berbentuk bulat datar semacam piring, asbak tempat puntung rokok, dan lain-lain. Tanah yang dipakai sebagai bahan baku adalah tanah liat / lempung.

Alat yang dipakai cukup sederhana. Berupa kayu datar dan bundar yang bisa diputar, bertumpu pada alat lain di bagian bawah. Tanah lempung yang sudah ‘’diolah’’, dibentuk di atas kayu bundar datar tersebut sembari diputar, menjadi barang yang direncanakan.

Barang-barang yang sudah jadi dikumpulkan sesuai jenisnya lalu dianginkan. Pada saatnya, lalu dibakar pada tungku dalam waktu tertentu, dengan bahan bakar kayu dan sekam padi. Setelah dingin lalu dikeluarkan dari tungku, kemudian dipasarkan.

NJENGGRIK adalah nama pedukuhan (bagian dari desa). Letaknya di gang-gang, di sisi kiri dan kanan jalan (sekarang) jalan Majen Panjaitan Malang. Tempat itu, sampai dengan tahun 1960-an merupakan sentra pembuatan grabah.

Namun keadaan berubah. Persawahan berubah fungsi menjadi perumahan, gedung-gedung (Universitas Brawijaya) dan bangunan lainnya. Bahan baku tanah lempung sulit diperoleh. Perajin grabah gulung tikar, kerajinan grabah sirna begitu saja *.

MALANG TEMPO DOELOE dalam CERITA (2) 

PULOSARI
(Trilaksito Saloedji)

Sampai dengan sekitar tahun 1973, PULOSARI dikenal sebagai tempat peresapan air.
Lokasinya berada di tempat yang berbatasan dengan Jalan Pandan di sebelah Utara, Jalan Kawi di sebelah Selatan, Jalan Pulosari di sebelah Barat, dan di sebelah Timur bangunan perumahan.

Tempat peresapan air itu berbentuk cekungan lebar bundar di sebelah atas. Mengerucut ke bawah agak landai. Pada dasar cekungan ada bangunan pengairan untuk  menampung air buangan.
Jadi fungsi peresapan air itu adalah menampung air buangan riol-riol dari Bareng, Pulosari dan sekitarnya. Air tersebut kemudian dialirkan ke sungai kecil (sekarang berada dibawah bangunan pertokoan Jalan Kawi), lalu mengalir lewat Bareng Pasar, menuju ke Selatan, ke sungai yang membelah Jalan Kasin dan Jalan Tanjung.

Cekungan Pulosari sangat disukai anak-anak sebagai tempat bermain. Dengan bermodal pelepah palem raja yang sudah luruh, anak-anak bermain luncur-luncuran, dari atas ke bawah. Demikian diulang tiada mengenal lelah.

Kemudian tempat peresapan air tersebut beralih fungsi menjadi Gelanggang Olah Raga. Akhirnya berubah fungsi lagi menjadi pertokoan Giant sampai sekarang.*

Renungan :
Di dalam Al-Qur’an, manusia berulangkali diingatkan : Jangan membuat kerusakan. Tetapi mereka selalu berdalih, bahkan kami memperbaiki.
Sebenarnya mereka tahu dan mengerti, perlunya tempat peresapan air agar tidak menimbulkan banjir. Tetapi hatinya telah diselimuti bujukan setan. Jalan apapun ditempuh mereka untuk mendapatkan keuntungan dunia *.

MALANG TEMPO DOELOE dalam CERITA (1) 

OPAS TROTOIR
(Trilaksito Saloedji)

Rumah seorang temanku di bilangan Kayutangan gang 5.  KAYUTANGAN adalah nama jalan yang sangat lebar (waktu itu) yang membelah jantung kota MALANG. Ada jalan trem juga di atasnya. Sekarang jalan itu diganti namanya menjadi Jalan BASUKI RACHMAT (Mantan Menteri Dalam Negeri zaman Orla).

Kakeknya pernah cerita, bahwa TROTOIR di pinggir jalan itu sangat bagus, lebar dan bersih. Dibuat dari pasangan tegel yang tidak licin di kala hujan. Seorang Opas (mungkin sekarang Satpol PP) ditugaskan menjaga keamanan dan ketertibannya. Opas itu sangat disiplin. Pokoknya trotoir adalah tempat untuk orang berjalan kaki. Tiada ampun, bila ada yang mencoba naik sepeda di atasnya, atau ada yang membuang kotoran/sampah. Tiada satupun pedagang kaki lima yang menjarah keberadaannya. Keadaan waktu itu betul-betul TERTIB, BERSIH dan INDAH.

CATATAN : Kera ngalam – Sam Didik Sunardi, sam Mas Bambang Setiyono, sam Widya Primandaru dkk,  dan semuanya saja yang belum saya sebut di sini - ;   saya ajak untuk menggali cerita seputar :  MALANG TEMPO DOELOE.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...