Senin, 20 Oktober 2014

CAAS - (10) - '' N E G ''

CAAS - (10) - '' N E G ''
(Trilaksito Saloedji)

Ini cerita putraku yang pernah ‘’mengembara’’ di kota Pangkal Pinang pulau Bangka.

Sebagai orang muda aku suka bergaul. Maka di kota pengembaraanku itu aku mempunyai banyak teman. Tentu saja aku tidak sembarangan dalam mendapatkan teman. Komunitas pergaulanku masih positip. Biasanya ramai-ramai berwisata dan makan-makan.

Masyarakat di sini suka makan ikan, baik ikan laut maupun ikan darat. Ketika baru beberapa minggu di kota Pangkal Pinang, aku diajak teman-teman untuk menghadiri undangan makan.
Di tempat perhelatan telah disiapkan berbagai ikan, dimasak dengan aroma yang mengundang selera makan. Ada masakan ikan pari (yang panjangnya sekitar 20 cm), ikan nus, ikan patin dll.
Yang mempunyai hajat sangat ramah, mempersilakan kami makan. Aku sangat menikmati ikan pari yang dimasak dengan bumbu yang berwarna kuning demgam irisan nanas. Rasanya nikmat segar. Teman-teman dengan leluasanya mengambil dan menambah lauk.
Mungkin si empunya rumah melihat aku ‘’kikuk’’, terlihat malu-malu. Maka beliau mendekati, menyodorkan lauk di piring sambil berkata dengan bahasa daerah setempat :
‘’Ikak neg?’’
Aku heran, tidak mengerti arti perkataannya. Kupikir beliau bertanya apakah  masakan yang kumakan ‘’menimbulkan rasa NEG’’. Rasa yang membuat mual, ingin muntah. Maka aku menjawab dengan sopan dan tersenyum :
‘’Tidak, terimakasih’’, aku meneruskan makan apa yang ada di piringku. Sedangkan teman teman yang lain masih menikmati hidangan yang tersaji di meja makan.

Sewaktu  dalam perjalanan pulang, seorang teman bertanya :
‘’Ketika kamu ditawari untuk menambah lauk, mengapa kau tolak?’’
‘’Kupikir beliau bertanya, apakah masakannya menimbulkan “rasa neg”, rasa mual ingin muntah’’. Kedua temanku tertawa terbahak-bahak. Lalu yang seorang menerangkan :

‘’IKAK NEG itu artinya : anda suka?  Atau anda ingin tambah ..........?’’ *

CAAS - (8) - TERORIS

CAAS - (8) - TERORIS
(Trilaksito Saloedji)

Sesudah waktu asar, angin bertiup makin kencang. Suaranya bergemuruh. Daun, ranting serta cabang pohon bergoyang. Rumpun bambu di kejauhan tampak meliuk-liuk seperti menari dengan lemah gemulai. Aku dan isteriku lebih senang berada di dalam rumah. Semua jendela, pintu muka dan belakang ditutup.

Menjelang maghrib keadaan berangsur tenang kembali. Aku keluar melalui pintu ruang makan / ruang keluarga menuju kamar mandi luar, untuk wudhu’.  Tiba-tiba terdengar isteriku berteriak dari dalam rumah.
-          ‘’Pak .........Pak ........!!!!’’.
Aku segera bergegas kembali menuju ke ruang dalam, dengan berbagai tanda tanya di benak.
-          Ada apa ....... ?’’, tanyaku.
Isteriku terlihat pucat pasi. Berdiri gemetar di pintu terbuka, yang menghubungkan ruang keluarga ke dapur dalam. Ujung jari telunjuk tangan kanannya, menunjuk ke lantai dapur.

Masyaallah ..............., ada sesuatu di lantai keramik berwarna putih. Seekor ular sebesar  ibu jari orang dewasa,  melingkar dengan tenangnya. Tubuhnya berwarna kuning kehitaman.

-          ‘’Ambil garam’’, pintaku kepada isteri. Aku tetap mengawasi. Aku berpikir, dari mana
datangnya ular ini? Apa yang akan kulakukan selanjutnya? Garam halus kusebarkan tanpa perhitungan lagi,  pada radius 30 cm dari ular. Aku segera mengambil tongkat kebun dari pipa besi, yang ujungnya seperti kapak yang tajam, serta sabit panjang. Garam kusebar lagi dengan radius lebih menyempit dari ular tersebut. Rupanya dia terprovokasi. Bergerak dengan mendongakkan kepalanya. Warna kuning kehitamannya lebih nyata. Mungkin ini ular weling.

Aku menggunakan tongkat pipa besi. – ‘’Bismillaahirrahmaanirrahim’’. Hunjaman demi hinjaman ujung tongkat  ke tubuhnya selalu meleset. Dia makin liar. Tapi belum keluar dari barikade garam. Aku sempat panik. Aku ganti bersenjatakan arit panjang. Kuarahkan punggung sabit ke sasaran.Sekali hentakan tubuhnya terpotong menjadi dua. Namun ke dua potongan itu bergerak makin liar. Akhirnya ...... teroris itu dapat kuatasi bersamaan kumandang adzan maghrib.  

Kami berdua berandai-andai. Kecil kemungkinan ular itu datang dari belakang. Apalagi dari muka, karena harus melalui car-port dan garasi yang tertutup. Jangan jangan........ (Pikiran fantastis ini tidak kami teruskan ............. khawatir anda terbawa fantasi yang bukan-bukan). *

(Bsl/110914) 

CAAS - (7) - HARAM .......... HARAM .........

CAAS - (7) - HARAM ......... HARAM ..........
(Trilaksito Saloedji)

Setelah shalat isya’ di Masjidil Haram kami langsung pulang ke maktab. Makan dan istirahat, lalu keluar dari kamar, duduk di lobby yang tidak begitu luas. Jamaah lelaki bercengkerama sambil menikmati teh susu atau kopi susu yang dijual di lobby itu.

Pembicaraan malam ini, seputar perjalanan rombongan kami ke Tan’im tadi pagi. Tidak lama kemudian masuklah ke lobby, dua orang teman kami dalam keadaan payah dan lusuh. Kami heran, tentu ada sesuatu yang menimpa mereka. Apakah mereka, Pak Awi dan Pak Madji tersesat?

Diantara kami ada yang menyapa : ‘’Pak Awi, baru datang?’’
Pak Madji yang menjawab : ‘’Ya, tadi kita ketinggalan bis’’
Yang lain menyahut, tidak percaya : ‘’Ketinggalan di Tan’im?’’
Keduanya mengangguk.  ‘’Bagaimana kejadiannya?’’, ada yang bertanya.

Setelah Pak Awi dan Pak Madji duduk, dan dibawakan kepada mereka dua gelas kopi susu, maka Pak Madji bercerita. Bahwa ketika rombongan keluar dari shalat dhuhur di masjid Tan’im, keduanya ke kamar mandi/wc, untuk BAB.

Setelah selesai, keduanya kebingungan mencari rombongannya. Mengetahui bahwa telah ditinggal, maka mereka mencari kendaraan umum yang akan ke Makkah. Setiap ada bis atau kendaraan umum lewat, pengemudi dan pembantunya berteriak :  ‘’Haram ..... Haram .......’’.   
Pikir Pak Awi dan Pak Madji, kendaraan itu bukan atau tidak boleh untuk tumpangan (karena haram).


Demikian sampai berjam-jam mereka berdiri di pinggir jalan. Akhirnya ada orang lewat, rupanya tahu masalah keduanya. Maka ketika ada bis dan menawarkan :  ‘’Haram .... Haram ......’’. Orang itu menghentikan, dan berkata kepada keduanya : ‘’Masjidil Haram......’’.

CAAS - (6) - TUKANG PIJAT

CAAS - (6) - TUKANG PIJAT
(Trilaksito Saloedji)

Bardi punya hobby menanam tanaman hias maupun tanaman buah di dalam pot.
Suatu hari terjadilah malapetaka itu. Dia  memindahkan sebuah pot  (tanaman buah) yang cukup besar, ke tempat lain. Kemudian terasa ada yang kurang beres pada tubuhnya. Berjalan tidak bisa tegak lagi, ada rasa sakit, nyeri yang menganggu di punggungnya.

Esoknya dia ke dokter umum, lalu dirujuk ke dokter spesialis orthopedi. Setelah melalui beberapa proses pemeriksaan dengan alat-alat kedokteran, Bardi disarankan untuk operasi. Namun dia takut operasi.

Mendengar temannya sakit, Winto menjenguk ke rumahnya. Melihat penderitaan Bardi, dia mengajak ke tukang pijat. Awalnya Bardi menolak, karena khawatir sakitnya akan makin parah. Setelah diyakinkan, akhirnya Bardi mengikuti saran Winto.

Sore itu juga Winto mengantar Bardi ke tukang pijat yang pernah dikenalnya..
Tukang pijat itu bertanya : ‘’Mana yang sakit?’’
‘’Punggung saya Pak, sakit dan nyeri setelah mengangkat pot tanaman’’
‘’Coba saya periksanya’’
‘’Sebentar, saya buka baju dulu Pak’’, kata Bardi.
‘’Tidak usah, berdiri saja dekat saya’’.

Tukang pijat itu kemudian meletakkan tangan kanannya di punggung Bardi yang sakit. Kemudian telapak tangannya dinaikkan dan diturunkan berulang-ulang. Tidak sampai lima belas menit pekerjaan itu diakhiri.

Sekarang Bardi bisa berjalan tegak lagi.. Dalam perjalanan pulang, rasa sakitnya sudah berkurang. Rona mukanya menunjukkan keceriaan.
Kata Bardi : ‘’Heran, kenapa tidak disediakan dipan untuk pasien. Memijatnya kan lebih santai‘’.
Winto menjawab sekenanya : ‘’Habis kebanyakan pasiennya suka berdiri sih. Mana mungkin memaksa pasiennya rebahan di dipan. ’’.
‘’Maksud Bang Winto?’’, Bardi tidak mengerti maksudnya.
‘’Tukang Pijat tadi,  selain memijat orang, juga memijat .............sapi kerapan’’.

‘’Jadi .....................?’’. Bardi ternganga heran. * (Bsl,180914)  

CAAS - ( 5) - NGIDAM

CAAS - (5) - NGIDAM
(Trilaksito Saloedji)

Pagi itu aku merawat tanaman dan membersihkan rumput di halaman depan rumah. Terlihat sebuah motor berhenti di bawah pohon mangga di seberang jalan, sekitar  8 meter dari tempatku. Pengemudinya seorang lelaki yang masih muda. Seorang perempuan turun dari boncengan. Keduanya mendongakkan kepalanya ke atas. Melihat buah mangga yang bergelantungan pada tangkainya.

Kemudian motor itu dijalankan pelan-pelan. Pandangan mereka kebanyakan ke atas, ke pohon-pohon mangga yang ditanam di pinggir jalan komplek perumahan tempat tinggalku. Lalu mereka kembali ke tempat awal berhenti tadi.

Sepeda motor diparkir, yang perempuan membuka tas dan mengeluarkan beberapa kresek plastik. Si lelaki dengan tangkasnya memanjat batang dan dahan. Dengan leluasa memetik dan menjatuhkan buah-buah mangga itu. Si perempuan memasukkannya ke dalam kresek-kresek yang telah disiapkan.


Aku asyik memperhatikan mereka. Mata si perempuan tersipu bersipandang dengan aku. Terlontar dari mulutnya : ‘’Minta ijin, untuk orang ngidam’’. Yang lelaki lalu turun, ikut memasukkan buah mangga  ke dalam kresek. Motor distarter, yang perempuan mengangkat tiga kresek penuh buah mangga, tanpa menoleh kepadaku. (Bsl, 300914)

CAAS - (4) - SUPPORTER BONEK

CAAS - (4) - SUPPORTER BONEK
(Trilaksito Saloedji)

Sejak pagi Heri merasa tidak sehat, tetapi tetap masuk ke kantor. Menjelang siang terasa pusing, badannya kedinginan. Makin lama terasa makin pusing dan menggigil. Temannya mengantarkan ke RSU tidak jauh dari kantornya. Di IGD, diambil darahnya untuk diperiksa di laboratorium. Heri diinfus. Hasil lab, kemungkinan Heri menderita Demam Berdarah.

Opname, ditempatkan di ruang kelas satu. Sebuah ruang, sekitar empat kali empat meter. Dengan kamar mandi di dalam. Tertata dua buah bed standard, dan dua buah meja kecil tinggi, serta dua buah kursi. Ada tabung gas besar, dan tiang untuk botol infus.

Lima hari pertama, di dalam ruang itu pasiennya hanya Heri sendirian. Jadi keluarganya leluasa untuk menjenguk dan ada yang menemani pada malam hari.

Namun tengah malam menjelang hari ke enam, masuklah pasien baru. Seorang pasien lelaki tua. Diantar isteri dan empat orang dewasa lelaki dan perempuan. Suasana kamar yang semula hening menjadi bising. Perawat keluar masuk ruang untuk memantau peralatan deteksi jantung. Suara keluarga pasien yang bersahutan tidak mempedulikan orang lain.

Esoknya, bertepatan hari Minggu. Sejak pagi tamu berdatangan menjenguk lelaki tua itu. Kadang sampai delapan orang mengelilingi tempat tidurnya. Siang hari makin banyak yang datang, lelaki dan perempuan dengan anak-anak kecil. Isteri lelaki tua itu sibuk menerima jabat tangan dan amplop. (Seperti ang pao hajatan saja). Suasana ruang makin pengap dan makin bising.

Tamu-tamu itu lalu memasang alas di serambi luar kamar. Membuka bekal dan makan bersama dengan keluarganya. Layaknya berwisata saja. Sampai malam pengunjung masih ada.  Sebagian tidak pulang. Menggelar tikar atau alas lainnya untuk tidur di lantai serambi luar kamar, tanpa peduli bahwa itu akses jalan orang lain. Ternyata supporter tidak hanya di bidang olah raga. Supporter juga ada di Rumah Sakit.


Pada hari ke tujuh, dokter memeriksa Heri. Menyatakan bahwa dia boleh pulang. Alhamdulillah. Rasa syukur, karena sembuh dari penyakit yang dideritanya. Rasa syukur juga, karena  lepas dari  tingkah laku dan celoteh ‘’SUPPORTER  BONEK’’.

CAAS - (3) - SAMBAL

CAAS - (3) - SAMBAL
(Trilaksito Saloedji)

Sejak sama-sama bujangan, aku dan Mas Darta  bekerja dalam satu kantor dan tinggal satu mess. Setelah menikah dan pindah ke lain kota, hubungan kami tetap baik. Saling berkunjung.

Akhir minggu ini aku dan isteriku ke rumahnya. Dijamu makan malam. Di atas meja makan tersedia lauk yang menggugah selera makan. Sop sayur dilengkapi dengan bakso, ayam goreng dan lalapan serta sambal terasi yang baunya merangsang.

Kami ber-empat makan sambil bercakap-cakap dengan santai. Kesukaan Mas Darta akan lalapan rupanya tetap seperti dulu. Daun selada yang hijau segar, mentimun dan kacang panjang, dilahapnya. Tetapi yang mengherankan dia tidak mengambil sambal terasi sedikit pun.

‘’Mas sekarang tak suka sambal?’’, tanyaku. Yang menjawab isterinya :
‘’Siapa bilang, Mas Darta sekarang sambalnya istimewa, lihat tuh’’
Aku melihat, di dekat piring Mas Darta ada sebuah piring kecil. Isinya beberapa cabe rawit lengkap dengan tangkainya, garam dapur, terasi dan sendok kecil.

Kami melihat Mas Darta memegang tangkai cabe. Lalu ujung cabe dicocolkan ke garam dan ke terasi. Setelah keduanya melekat pada cabe, lalu digigitnya. Dia lalu mengambil daun selada atau lainnya dan memasukkan ke mulut untuk dikunyah bersama-sama cabe tadi. Kami keheranan memandangnya.
‘’Mulai kapan Mas “nguleg”  (bahan sambal) itu dalam mulut?’’, tanyaku disambut tawa yang hadir di situ.
‘’Tanya saja kepada Mbakyumu’’.

Lalu isterinya cerita. Suatu sore ketika dia sudah dijemput kendaraan untuk pergi bersama ibu-ibu yang lain, bersamaan dengan datangnya Mas Darta dari kantor.
Isterinya berpesan : ‘’Mas, makanan sudah siap di meja makan, hanya sambelnya belum ku “uleg” (dihaluskan dengan uleg-uleg), aku pergi dulu’’.

Kemudian Mas Darta melanjutkan :  ‘’Melihat cobek dan isinya, malas untuk “nguleg”, maka aku mengambil cabe rawit, kucocolkan ke garam dan terasi, lalu kugigit. Ternyata asyik juga. Aku bisa memperkirakan “imbangan rasa” ketiga bahan tersebut di dalam mulut’’.


‘’Kalau semua orang seperti Mas Darta, tidak ada lagi orang jualan cobek’’. Yang lain tertawa. *

CAAS - (2) - LAUK

CAAS - (2) - LAUK
(Trilaksito Saloedji)

Setelah makan malam, isteriku berkata : ‘’Nuning tadi siang telpon’’.
‘’Apa katanya?’’, tanyaku sambil menoleh, tanpa melepaskan buku yang kupegang.
‘’Katanya, Ibu sakit’’

Ruang keluarga ini kembali hening. Terdengar suara anakku sedang menghafal pelajaram sekolah, di kamarnya yang terbuka. Komunikasi dengan Ibu dijembatani Nuning. Seorang kemenakan yang mendampingi dan merawat Ibu. Mereka berdua tinggal di kota Malang. Putra-putri dan menantu beliau hidup terpencar di beberapa kota. Tempat tinggal kami adalah yang paling dekat dari Malang.

‘’Sakit apa?’’
‘’Katanya Ibu pusing’’.
‘’Baiklah, besuk usai dinas kita ke Malang’’, jawabku memberi solusi.
Anakku bersorak mendengar kalau besuk ke Malang. Aku tersenyum. 

Esoknya kami jadi ke Malang. Pukul empat sore kami telah masuk halaman rumah ibu. Mendengar suara mobil, Nuning membuka pintu rumah. Menyambut kami dengan gembira.

Ketegangan nampak di raut muka isteriku. ‘’Ning, bagaimana sakitnya Bude?’’, tanya isteriku. (Bude adalah ibunya isteriku, dan Budenya Nuning).
‘’Biasalah’’, kemudian dilanjutkan : ‘’Seharian tadi duduk, ee ...mendengar suara mobil masuk, Bude lalu tiduran’’, katanya sambil tersenyum. Aku tersenyum. ‘’Sakit rindu ..........’’.

Pertemuan yang heboh, seperti biasanya. Ibu mengeluhkan beberapa penyakitnya. Isteriku jadi pendengar yang baik. Anakku tidak terpengaruh, dia sibuk mempermainkan si manis, kucing peliharaan ibu.

Waktu makan malam. Kami berempat di meja makan. Hidangan yang tersedia  (selain masakan Nuning),  juga makanan bawaan isteriku. Rawon ‘’Nguling’’ (kesukaan ibu), sate kerang, abon daging, buahnya mangga ‘’Gadung’’ atau ‘’Manalagi Situbondo’’ yang manis ranum.
Ibu makan dengan lahap. Sekian banyak lauk yang tersedia tidak disentuh satupun, kecuali irisan buah mangga. Ya, beliau makan nasi dengan ‘’lauk irisan buah mangga’’ saja. * 

CAAS - (1) - BAWANG MERAH

CAAS - (1) - BAWANG MERAH
(Trilaksito Saloedji)

Hari Minggu ini tidak dapat  kunikmati berdua dengan isteriku. Sejak pagi tadi, dia pergi bersama ibu-ibu ke Surabaya. Sebagai pengurus paguyuban ibu-ibu di instansi ini, setiap bulan sekali belanja untuk  ‘’meja penjualan’’ organisasinya.

Setelah berolah raga sampai pukul 09.00, aku pulang. Ketika masih di dalam kamar mandi ada suara heboh di luar. Terdengar suara lelaki, lalu pembantu perempuan menangis. Ada apa gerangan? Aku cepat keluar. Mbok Djum sambil menangis berkata, bahwa anaknya di daerah Jember meninggal.
‘’Siapa yang memberi kabar?’’, tanyaku.
‘’Ini adik saya’’.

Setelah Mbok Djum pergi dengan adiknya, lengkaplah keheningan di rumah ini. Aku masuk dapur. Kompor dalam keadaan mati. Kembali ke ruang dalam. Di meja makan tersaji : sepiring tempe goreng, sepiring tahu goreng dan seekor bandeng goreng. Rupanya Mbok Djum belum sempat membuat sayur dan sambal kesukaanku.

Perut sudah lapar. Membuka lemari makan dan kulkas. Mencari sesuatu yang bisa menambah selera makan. Maksudku lalapan (semacam mentimun, kacang panjang, selada) dan sambal. Tiada sesuatu pun. Malahan aku bersin beberapa kali. Alhamdulillah. Rasanya badan letih, seperti mau flu.

Ingat ketika dijamu makan di rumah Mas Parto beberapa bulan yang lalu. Aku melangkah ke dapur, mengupas beberapa butir bawang merah. Mencucinya, lalu kuiris-iris. Jadilah ‘’sambal kecap irisan bawang merah’’.

Aku makan, lahap sekali. Kenikmatannya diiringi suara bawang merah yang beradu dengan gigiku. Pedasnya membuat badanku berpeluh.

Ketika aku duduk nonton teve, ingat pembicaraan di rumah Mas Parto.
‘’Mas begitu suka dengan sambal kecap irisan bawang merah ini’’

‘’Ya, selain sebagai pelengkap lauk, bagiku dapat meningkatkan daya tahan tubuh’’.*
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...