Kamis, 30 Agustus 2012

PORTAL


Trilaksito Saloedji


Ketika RW atau kelurahan lain sudah pada memasang portal, warga RW tempat tinggal Gido tenang-tenang saja. Lima jalan masuk dan keluar siang malam terbuka untuk dilalui pejalan kaki sampai yang berkendara. Mulai pembantu rumah tangga dan ibu-ibu yang belanja keperluan sehari-hari. Jamaah masjid yang di pagi buta berangkat menunaikan ibadah shalat di masjid.. Para pemulung yang silih berganti membawa obrognya mengumpulkan bahan plastik dan kertas dari tong sampah. Penjual makanan keliling dan penjaja keperluan dapur. Mobil antar jemput anak sekolah dan taksi serta mobil travel yang menjemput/antar penumpang dari RW ini. Mobil tamu-tamu penghuni lingkungan yang tergolong the have.  Semua bebas masuk dan keluar dari mana saja mereka sukai.


Penghuni dan pemilik rumah di RW ini heterogen. Ada pegawai sipil, militer dan wiraswasta.. Memang sebagian besar adalah golongan kelas tinggi dan the have seperti konsultan, pengusaha yang sukses, professor, dosen, pejabat pemda dan pejabat Bank. Namun ada yang telah purna tugas dan menikmati hari tua dengan kerentaan fisik dan ekonominya. Disamping itu ada beberapa pegawai rendahan seperti Gido, dan beberapa  pedagang yang berkutat dengan perjuangan menghidupkan usaha kecilnya.

Selama limabelas tahun sebagai warga, Gido pernah mendengar beberapa sepeda motor raib dari halaman rumah warga. Dashboard dan tape mobil dicongkel orang di waktu malam ketika di parkir di pinggir jalan dan di dalam garasi yang setengah terbuka. Tiga rumah warga disatroni maling pada siang hari ketika penghuninya sedang bepergian. Maling itu menguras uang dan barang-barang perhiasan, sehingga tidak kentara ketika keluar rumah korbannya dan melenggang di jalan lingkungan yang sepi. Bahkan belum hilang dari ingatan ketika terjadi pencurian di siang bolong di rumah seorang pejabat pemda. Namun semua warga dan perangkat RT/RW atas kejadian itu masih tenang-tenang saja meski medan lingkungannya terbuka.

Sesudah itu, pada suatu malam terjadilah pencurian mobil baru, seharga ratusan juta. Mobil itu raib dari garasi warga yang kaya. Ada beberapa mobilnya di dalam garasi, namun mobil yang naas ini di ditaruh di garasi terbuka yang pintu pagarnya terkunci. Entah mengapa dengan kehilangan ini beberapa orang menjadi peduli. Rupanya pembicaraan mereka semakin intensif sampai ke tingkat RW. Biang kerok semua ini ditumpahkan pada alasan medan lingkungan yang “bebas hambatan”. Tanpa portal yang menghalang, para penjahat akan leluasa beraksi. Beberapa warga yang pernah mendapat kerugian karena kehilangan, mempengaruhi warga lainnya. Seperti wabah flu, maka dengan cepat sebagian besar warga menganggap perlu dan mendesak untuk memasang portal.

Meski hanya “urusan membuat dan memasang portal” Ketua RW tidak gegabah begitu saja. Katanya : ’’Perlu mandat dari bawah untuk merealisasikannya. Harus ada keputusan warga dari semua RT ’’.  Semua warga RT lalu diundang bermusyawarah untuk mendapatkan mufakat pembuatan dan pemasangan portal di lima pintu masuk/keluar. Awalnya timbul bisik-bisik dari warga “yang tidak berpunya”. Dananya dari mana ? Berapa tarikannya kepada setiap kepala keluarga. Ketua RW lalu mengumumkan bahwa dana pembuatan dan pemasangan portal sudah ada. Beberapa warga yang sangat peduli telah menanggung semua beaya pembuatan portal dan pemasangannya. Jadi tidak ada tarikan kepada warga (yang tidak mampu). Legalah hati para pensiunan dan pegawai rendahan serta pengusaha kecil yang berdomisili di RW tersebut.

Maka pembuatan portal dapat dilaksanakan. Dalam waktu singkat lima portal telah jadi dan dipasang. Empat portal hanya akan dibuka pada jam-jam yang ditentukan Ketua RW. Sedangkan satu portal yang terletak di tengah-tengah lingkungan RW akan dibuka duapuluh empat jam sehari semalam dengan penjagaan penuh oleh satpam.

Para Ketua RT/RW merasa lega, karena programnya telah terlaksana dengan mulus. Para penghuni yang tergolong the have senang dan tenang hatinya. Harapannya, tidak ada lagi yang berniat menyatroni rumahnya. Tidak ada lagi yang akan ngembat motornya. Mobil-mobilnya akan aman tenteram di kandangnya. Bagi yang tidak berlebih dari pendapatannya (bahkan minus nus nus) merasa lega karena Ketua RW tidak menarik sumbangan. Sehingga tidak menambah beban hidupnya.

Hari pertama setelah pemasangan portal, datanglah “malapetaka” itu. Pada pagi hari, empat portal, baru akan dibuka pukul 06.00 sampai dengan 09.00. Celakanya portal telah didesain sedemikian rupa sehingga tidak ada celah di sebelah kiri atau kanannya buat pejalan kaki. Pedagang sayuran (mlija) yang biasa lewat jalan pintas di tengah RW  pada pukul 03.30 WIB, kecele  Dia harus berjalan memutar, berjalan kaki lebih jauh dengan membawa beban beratnya.  Pembantu rumah tangga dan ibu-ibu yang biasa belanja pagi-pagi di pedukuhan sebelah timur, terhalang di portal timur, karena portal baru dibuka pukul 06.00 pagi.. Seorang karyawan yang dinas di Surabaya, pagi itu juga harus berjalan lebih jauh menuju portal utama untuk mencapai jalan raya yang dilewati angkot. Muslimin dan muslimat, pagi itu juga harus berjalan lebih jauh ke portal utama, kemudian memutar kembali menyusuri jalan ke timur, baru berjalan ke selatan untuk mencapai masjid di sebelah selatan RW itu. Setelah siang datanglah keluhan dari anak-anak sekolah yang terpaksa harus berjalan lebih jauh lewat portal utama, sebelum menuju ke rumahnya.

Yang paling mendapat dampak dengan penutupan portal tanpa celah untuk pejalan kaki, adalah Paino. Dia pedagang yang membuka warung makanan di rumahnya. Usahanya langsung terhambat tanpa rongga rezki sedikitpun, seperti tertutupnya portal. Usahanya langsung mati mendadak tanpa melewati mati suri terlebih dulu.

Dengung kasak-kusuk ketidak puasan mulai terdengar dari rumah-rumah warga yang merasa dipersulit dan dirugikan oleh aturan. Mulai dari anak sekolah. Bapak-bapak yang harus berangkat pagi-pagi. Pembantu rumah tangga dan ibu-ibu yang kehabisan belanjaan. Sampai beberapa penghuni yang beribadah untuk pergi ke masjid. Mereka menyesalkan mengapa Ketua RW tidak memikirkan kebutuhan semua warga.  Tanpa menghiraukan orang yang harus jalan kaki, orang yang tidak punya mobil bahkan motor sekalipun. Apakah Ketua RW memang tidak peduli pada rakyat kecil. Atau kepentingan rakyat kecil tidak perlu dihiraukan ?  Meski mereka hanya membutuhkan akses jalan tidak lebih dari setengah meter di samping portal ? Apakah sudah waktunya negeri ini memang hanya untuk kepentingan orang-orang kaya dan orang-orang berpangkat saja ?

Mendengar sentilan yang dialamatkan kepadanya, Ketua RW tidak bergeming. Dengan enteng dia membela diri dan berkata : ’’Hal yang baru memang perlu penyesuaian, nanti lama-lama semua akan terbiasa. Mereka akan bersyukur tinggal di RW ini. Karena lingkungannya akan semakin aman dan teratur. Soal jalan bagi pejalan kaki memang tidak direncanakan. Memangnya mereka mau bertanggung jawab jika pencuri melenggang begitu santainya lewat akses jalan itu ? Mengapa mereka mengeluh ? Sepantasnya bersyukur, dengan berjalan lebih jauh mereka akan semakin sehat. Kepada ibu-ibu yang akan belanja, diminta kesabarannya untuk menunggu sampai waktu portal dibuka. Sedang anak sekolah perlu ditempa semangat juangnya sejak dini.  Kita jangan meninggalkan generasi penerus kita dalam keadaan manja, lemah dan suka mengeluh. Saya ingatkan kepada yang akan ke masjid pagi-pagi, bukankah kata Pak Ustadz : dengan berjalan lebih jauh pahalanya akan dilipat gandakan oleh Allah ?’’

Atas keterangan atau bantahan Ketua RW yang disampaikan tidak langsung kepada warga, membuat suasana di sebagian RW itu jadi suam-suam kuku. Kelompok “penderita” tidak puas. Namun hanya bisa melepaskan kejengkelan antar mereka sendiri. – ’’Memangnya di Negara demokrasi ini seenaknya saja seorang Ketua RW bisa menekan warganya ? Atau kita harus membungkukkan kepala dan badan kita serendah mungkin, lalu berjalan jongkok, beringsut dibawah portal seperti angsa. Atau mengharuskan kita jadi pelompat tinggi supaya bisa melewati portal yang tertutup ?’’

Bagaimana dengan warga yang lain ?  Mereka yang tidak tersentuh kesulitan merasa tenang-tenang saja. Karena dengan bermobil mereka tidak merasa jauh berkendara memutar lewat portal utama. Yang bersepeda motor hanya perlu menambah waktu beberapa menit saja. Mereka heran mendengar ada yang mengeluh karena aturan ini. Tidak masuk akal. Yah begitulah. Kepala sama hitam, ada rambut yang dipilin, dalam menyikapi perubahan, pendapat warga lain-lain.

Siapapun tahu bahwa sebenarnya warga RW sudah terpecah. Malangnya yang satu ini ditakdirkan lemah. Dipandang sebelah mata oleh yang lain. Termasuk golongan minoritas. Ketua RW pun tidak mempedulikan mereka. Pikirnya : ’’Untuk mencapai kata sepakat, kalau diadakan voting pun mereka akan kalah. Keberadaan mereka memangnya gue pikirin ?’’  

Kehidupan tidak memihak yang kecil. Kepada siapa akan mengadu ? Sedangkan keputusan RT/RW pada awalnya telah bulat disetujui oleh semua warga termasuk golongan minoritas ini.  Cetus mereka : ’’Memang benar, kami menyetujui pemasangan portal. Tapi kami tidak menyangka akses bagi pejalan kaki ditiadakan pada empat portal yang ada’’.
Tetapi Pak RW tidak pernah mempedulikan. Dia sibuk dengan urusannya sendiri yang mendatangkan duit.. Sehingga warga yang tertindas hanya bisa mengelus dada-dada mereka yang kerempeng.

Mbah Sampun salah seorang warga yang paling tua di RW ini. Orangnya pendiam tetapi cukup ramah dan baik hati kepada semua orang. Sisa usianya dipergunakan untuk beribadah, beramal saleh, berbaik sangka kepada semua orang. Kebetulan rumahnya berada satu jalan dengan sebagian besar warga dari golongan minoritas ini. Setiap hari ada saja yang datang mencurahkan rasa hatinya. Mbah Sampun jadi tumpuan orang untuk minta nasihat. Termasuk Paino yang bergiat di usaha kecil dengan berjualan makanan di rumahnya. Dia betul-betul terpukul. Dia paling sering bertandang ke rumah Mbah Sampun. - ’’Coba to Mbah, mana mungkin warung saya akan dikunjungi orang, sedang rumah tempat usaha saya terhalang dari jalan umum dengan adanya portal yang dibuka hanya beberapa jam yang telah ditentukan ? Lalu aku ini mau bagaimana Mbah. Mengadu kepada siapa ?’’ Mbah Sampun menatap mata Paino yang gelisah. Dia ikut merasakan kesulitannya.  Dia selalu berusaha meneduhkan rasa hati yang panas. Memberi siraman sejuk pada emosi yang terbakar.

’’Nak Paino, jangan patah semangat. Masih ada yang peduli kepadamu’’.
’’Siapa, siapa dia Mbah ?’’, tanya Paino tidak sabar. – ’’Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dia akan memberi jalan keluar dan rezki kepada yang dikehendaki-Nya. Datanglah kepadanya. Menangislah, sampaikan masalahmu, dan mintalah jalan keluar kepada-Nya.  Percayalah Allah akan mendengarkan dan memberikan yang terbaik untukmu’’.
’’Lalu …..caranya bagaimana Mbah ?’’, tanya Paino ragu-ragu.
Setelah Mbah Sampun mengucapkan beberapa kata, maka Paino beranjak pulang dengan penuh pengharapan.

Penjaga malam baru saja memukul tiang listrik dua kali. Hari masih malam. Bagi kebanyakan orang masih terlelap dan dibuai oleh mimpi mereka. Tetapi tidak bagi Mbah Sampun dan istrinya. Mereka berdua menyiapkan diri untuk shalat, rukuk dan sujud menghadap Allah SWT. Kemudian Paino dan istrinya datang ke rumah Mbah Sampun. Bergabung melaksanakan shalat di keheningan malam. Mbah Sampun membimbing Paino dan istrinya  mengaktualitakan kepasrahan hatinya dalam shalatnya. Mengajak berdoa memasrahkan penderitaan yang membelenggu mereka, hanya kepada Allah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim. Demikian sehingga setiap malam air mata selalu terburai mengalirkan kepasrahan dengan penuh keikhlasan.

Seminggu kemudian. Sekitar pukul satu siang terdengar benturan yang menimbulkan suara sangat keras. Amat sangat mengagetkan dan menarik perhatian Mbah Sampun dan Paino serta tetangga-tetangganya untuk keluar dari rumah. Mereka terkejut, telah banyak orang disekitar portal. Tampak sebuah truk pengangkut pasir bangunan telah menabrak portal. Truk tersebut dari selatan, ketika sampai di perempatan jalan mestinya belok kekanan, tetapi karena rem truk tersebut blong, sopirnya tidak bisa menguasai kendaraannya akhirnya menghajar portal yang sedang ditutup. Truk berhenti setelah sopirnya membanting stir kekiri dan moncong truk mencium pagar rumah sebelah barat jalan.  Sehingga besi portal tersebut centang perenang tidakberbentuk lagi. Setelah ketua RW meninjau, tidak banyak cakapnya. Sampai sekarang tidak ada upaya mengganti dengan portal yang baru. Warga tidak mempedulikan sisa-sisa besi portal yang berserakan.Yang pada akhirnya raib sedikit demi sedikit tanpa diketahui siapa yang mengambilnya.

Jalan masuk itu kini tanpa portal. Keadaan sekitarnya kembali seperti semula. Tiada keluhan warga yang sebelumnya mengeluh. Tiada lagi yang mencurahkan rasa kekesalan hatinya kepada Mbah Sampun. Seolah tidak pernah terjadi sesuatu dan melupakan masalah yang pernah menghimpitnya. Hari-hari selanjutnya Paino dan istrinya kembali lelap dipeluk malam yang dingin, serta dibuai oleh bunga-bunga mimpi. Mbah Sampun tetap seperti Mbah Sampun yang dulu . Orang gaek itu tetap taat  beribadah, beramal saleh, berbaik sangka kepada semua orang. Suatu hari dia menghampiri Paino, berkata dengan lembut selembut beludru : ’’Maukah engkau ditinggalkan-Nya untuk selama-lamanya, jika engkau menjauhi-Nya ?’’ * (Bsl, 20/05/12)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung di blog ini, sekarang tinggalkanlah jejak kamu di blog ini dengan cara berkomentar di kotak komentar yang sudah disediakan.
Gunakanlah akun Google kamu atau dengan menggunakan name/URL blog yang kamu punya. :-)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...