Ketika RW atau
kelurahan lain sudah pada memasang portal, warga RW tempat tinggal Gido
tenang-tenang saja. Lima
jalan masuk dan keluar siang malam terbuka untuk dilalui pejalan kaki sampai
yang berkendara. Mulai pembantu rumah tangga dan ibu-ibu yang belanja keperluan
sehari-hari. Jamaah masjid yang di pagi buta berangkat menunaikan ibadah shalat
di masjid.. Para pemulung yang silih berganti
membawa obrognya mengumpulkan bahan plastik dan kertas dari tong sampah.
Penjual makanan keliling dan penjaja keperluan dapur. Mobil antar jemput anak
sekolah dan taksi serta mobil travel yang menjemput/antar penumpang dari RW
ini. Mobil tamu-tamu penghuni lingkungan yang tergolong the have. Semua
bebas masuk dan keluar dari mana saja mereka sukai.
Penghuni dan pemilik rumah di RW ini heterogen.
Ada pegawai sipil, militer dan wiraswasta.. Memang sebagian besar adalah
golongan kelas tinggi dan the have seperti konsultan, pengusaha yang sukses,
professor, dosen, pejabat pemda dan pejabat Bank. Namun ada yang telah purna
tugas dan menikmati hari tua dengan kerentaan fisik dan ekonominya. Disamping
itu ada beberapa pegawai rendahan seperti Gido, dan beberapa pedagang yang berkutat dengan perjuangan
menghidupkan usaha kecilnya.
Selama limabelas
tahun sebagai warga, Gido pernah mendengar beberapa sepeda motor raib dari
halaman rumah warga. Dashboard dan tape mobil dicongkel orang di waktu malam
ketika di parkir di pinggir jalan dan di dalam garasi yang setengah terbuka.
Tiga rumah warga disatroni maling pada siang hari ketika penghuninya sedang
bepergian. Maling itu menguras uang dan barang-barang perhiasan, sehingga tidak
kentara ketika keluar rumah korbannya dan melenggang di jalan lingkungan yang
sepi. Bahkan belum hilang dari ingatan ketika terjadi pencurian di siang bolong
di rumah seorang pejabat pemda. Namun semua warga dan perangkat RT/RW atas
kejadian itu masih tenang-tenang saja meski medan lingkungannya terbuka.
Sesudah itu, pada suatu malam terjadilah pencurian
mobil baru, seharga ratusan juta. Mobil itu raib dari garasi warga yang kaya.
Ada beberapa mobilnya di dalam garasi, namun mobil yang naas ini di ditaruh di
garasi terbuka yang pintu pagarnya terkunci. Entah mengapa dengan kehilangan
ini beberapa orang menjadi peduli. Rupanya pembicaraan mereka semakin intensif
sampai ke tingkat RW. Biang kerok semua ini ditumpahkan pada alasan medan
lingkungan yang “bebas hambatan”. Tanpa portal yang menghalang, para penjahat
akan leluasa beraksi. Beberapa warga yang pernah mendapat kerugian karena
kehilangan, mempengaruhi warga lainnya. Seperti wabah flu, maka dengan
cepat sebagian besar warga menganggap perlu dan mendesak untuk memasang portal.
Meski hanya
“urusan membuat dan memasang portal” Ketua RW tidak gegabah begitu saja.
Katanya : ’’Perlu mandat dari bawah untuk merealisasikannya. Harus ada
keputusan warga dari semua RT ’’. Semua warga RT lalu diundang bermusyawarah
untuk mendapatkan mufakat pembuatan dan pemasangan portal di lima pintu masuk/keluar. Awalnya timbul
bisik-bisik dari warga “yang tidak berpunya”. Dananya dari mana ? Berapa
tarikannya kepada setiap kepala keluarga. Ketua RW lalu mengumumkan bahwa dana
pembuatan dan pemasangan portal sudah ada. Beberapa warga yang sangat peduli
telah menanggung semua beaya pembuatan portal dan pemasangannya. Jadi tidak ada
tarikan kepada warga (yang tidak mampu). Legalah hati para pensiunan dan
pegawai rendahan serta pengusaha kecil yang berdomisili di RW tersebut.
Maka pembuatan portal dapat dilaksanakan. Dalam
waktu singkat lima portal telah jadi dan dipasang. Empat portal hanya akan
dibuka pada jam-jam yang ditentukan Ketua RW. Sedangkan satu portal yang
terletak di tengah-tengah lingkungan RW akan dibuka duapuluh empat jam sehari
semalam dengan penjagaan penuh oleh satpam.
Para Ketua RT/RW
merasa lega, karena programnya telah terlaksana dengan mulus. Para
penghuni yang tergolong the have senang dan tenang hatinya. Harapannya, tidak
ada lagi yang berniat menyatroni rumahnya. Tidak ada lagi yang akan ngembat
motornya. Mobil-mobilnya akan aman tenteram di kandangnya. Bagi yang tidak
berlebih dari pendapatannya (bahkan minus nus nus) merasa lega karena Ketua RW
tidak menarik sumbangan. Sehingga tidak menambah beban hidupnya.
Hari pertama
setelah pemasangan portal, datanglah “malapetaka” itu. Pada pagi hari, empat
portal, baru akan dibuka pukul 06.00 sampai dengan 09.00. Celakanya portal
telah didesain sedemikian rupa sehingga tidak ada celah di sebelah kiri atau
kanannya buat pejalan kaki. Pedagang sayuran (mlija) yang biasa lewat jalan
pintas di tengah RW pada pukul 03.30
WIB, kecele Dia harus berjalan memutar, berjalan
kaki lebih jauh dengan membawa beban beratnya. Pembantu rumah tangga dan ibu-ibu yang biasa
belanja pagi-pagi di pedukuhan sebelah timur, terhalang di portal timur, karena
portal baru dibuka pukul 06.00 pagi.. Seorang karyawan yang dinas di Surabaya , pagi itu juga
harus berjalan lebih jauh menuju portal utama untuk mencapai jalan raya yang
dilewati angkot. Muslimin dan muslimat, pagi itu juga harus berjalan lebih jauh
ke portal utama, kemudian memutar kembali menyusuri jalan ke timur, baru
berjalan ke selatan untuk mencapai masjid di sebelah selatan RW itu. Setelah
siang datanglah keluhan dari anak-anak sekolah yang terpaksa harus berjalan
lebih jauh lewat portal utama, sebelum menuju ke rumahnya.
Yang paling mendapat dampak dengan
penutupan portal tanpa celah untuk pejalan kaki, adalah Paino. Dia pedagang
yang membuka warung makanan di rumahnya. Usahanya langsung terhambat tanpa
rongga rezki sedikitpun, seperti tertutupnya portal. Usahanya langsung mati mendadak tanpa melewati
mati suri terlebih dulu.
Dengung kasak-kusuk ketidak puasan mulai terdengar
dari rumah-rumah warga yang merasa dipersulit dan dirugikan oleh aturan. Mulai
dari anak sekolah. Bapak-bapak yang harus berangkat pagi-pagi. Pembantu rumah
tangga dan ibu-ibu yang kehabisan belanjaan. Sampai beberapa penghuni yang
beribadah untuk pergi ke masjid. Mereka menyesalkan mengapa Ketua RW tidak
memikirkan kebutuhan semua warga. Tanpa
menghiraukan orang yang harus jalan kaki, orang yang tidak punya mobil
bahkan motor sekalipun. Apakah Ketua RW memang tidak peduli pada rakyat kecil.
Atau kepentingan rakyat kecil tidak perlu dihiraukan ? Meski mereka hanya membutuhkan akses jalan
tidak lebih dari setengah meter di samping portal ? Apakah sudah waktunya
negeri ini memang hanya untuk kepentingan orang-orang kaya dan orang-orang
berpangkat saja ?
Mendengar
sentilan yang dialamatkan kepadanya, Ketua RW tidak bergeming. Dengan enteng dia membela diri dan berkata : ’’Hal
yang baru memang perlu penyesuaian, nanti lama-lama semua akan terbiasa. Mereka
akan bersyukur tinggal di RW ini. Karena lingkungannya akan semakin aman dan
teratur. Soal jalan bagi pejalan kaki memang tidak direncanakan. Memangnya
mereka mau bertanggung jawab jika pencuri melenggang begitu santainya lewat
akses jalan itu ? Mengapa mereka mengeluh ? Sepantasnya bersyukur, dengan
berjalan lebih jauh mereka akan semakin sehat. Kepada ibu-ibu yang akan
belanja, diminta kesabarannya untuk menunggu sampai waktu portal dibuka. Sedang
anak sekolah perlu ditempa semangat juangnya sejak dini. Kita jangan meninggalkan generasi penerus
kita dalam keadaan manja, lemah dan suka mengeluh. Saya ingatkan kepada yang
akan ke masjid pagi-pagi, bukankah kata Pak Ustadz : dengan berjalan lebih jauh
pahalanya akan dilipat gandakan oleh Allah ?’’
Atas keterangan
atau bantahan Ketua RW yang disampaikan tidak langsung kepada warga, membuat
suasana di sebagian RW itu jadi suam-suam kuku. Kelompok “penderita” tidak
puas. Namun hanya bisa melepaskan kejengkelan antar mereka sendiri. –
’’Memangnya di Negara demokrasi ini seenaknya saja seorang Ketua RW bisa
menekan warganya ? Atau kita harus membungkukkan kepala dan badan kita serendah
mungkin, lalu berjalan jongkok, beringsut dibawah portal seperti angsa. Atau
mengharuskan kita jadi pelompat tinggi supaya bisa melewati portal yang
tertutup ?’’
Bagaimana dengan
warga yang lain ? Mereka yang tidak
tersentuh kesulitan merasa tenang-tenang saja. Karena dengan bermobil mereka
tidak merasa jauh berkendara memutar lewat portal utama. Yang bersepeda motor
hanya perlu menambah waktu beberapa menit saja. Mereka heran mendengar ada yang
mengeluh karena aturan ini. Tidak masuk akal. Yah begitulah. Kepala sama hitam,
ada rambut yang dipilin, dalam menyikapi perubahan, pendapat warga lain-lain.
Siapapun tahu
bahwa sebenarnya warga RW sudah terpecah. Malangnya yang satu ini ditakdirkan lemah. Dipandang sebelah mata
oleh yang lain. Termasuk golongan minoritas. Ketua RW pun tidak mempedulikan
mereka. Pikirnya : ’’Untuk mencapai kata sepakat, kalau diadakan voting pun
mereka akan kalah. Keberadaan mereka memangnya gue pikirin ?’’
Kehidupan tidak
memihak yang kecil. Kepada siapa akan mengadu ? Sedangkan keputusan RT/RW pada
awalnya telah bulat disetujui oleh semua warga termasuk golongan minoritas
ini. Cetus mereka : ’’Memang benar, kami
menyetujui pemasangan portal. Tapi kami tidak menyangka akses bagi pejalan kaki
ditiadakan pada empat portal yang ada’’.
Tetapi Pak RW tidak pernah
mempedulikan. Dia sibuk dengan urusannya sendiri yang mendatangkan duit..
Sehingga warga yang tertindas hanya bisa mengelus dada-dada mereka yang
kerempeng.
Mbah Sampun
salah seorang warga yang paling tua di RW ini. Orangnya pendiam tetapi cukup
ramah dan baik hati kepada semua orang. Sisa usianya dipergunakan untuk
beribadah, beramal saleh, berbaik sangka kepada semua orang. Kebetulan rumahnya
berada satu jalan dengan sebagian besar warga dari golongan minoritas ini.
Setiap hari ada saja yang datang mencurahkan rasa hatinya. Mbah Sampun jadi
tumpuan orang untuk minta nasihat. Termasuk Paino yang bergiat di usaha kecil
dengan berjualan makanan di rumahnya. Dia betul-betul terpukul. Dia paling
sering bertandang ke rumah Mbah Sampun. - ’’Coba to Mbah, mana mungkin warung
saya akan dikunjungi orang, sedang rumah tempat usaha saya terhalang dari jalan
umum dengan adanya portal yang dibuka hanya beberapa jam yang telah ditentukan
? Lalu aku ini mau bagaimana Mbah. Mengadu kepada siapa ?’’ Mbah Sampun menatap
mata Paino yang gelisah. Dia ikut merasakan kesulitannya. Dia selalu berusaha meneduhkan rasa hati yang
panas. Memberi siraman sejuk pada emosi yang terbakar.
’’Nak Paino, jangan patah semangat. Masih ada yang peduli kepadamu’’.
’’Nak Paino, jangan patah semangat. Masih ada yang peduli kepadamu’’.
’’Siapa, siapa dia Mbah ?’’, tanya
Paino tidak sabar. – ’’Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dia akan
memberi jalan keluar dan rezki kepada yang dikehendaki-Nya. Datanglah
kepadanya. Menangislah, sampaikan masalahmu, dan mintalah jalan keluar
kepada-Nya. Percayalah Allah akan
mendengarkan dan memberikan yang terbaik untukmu’’.
’’Lalu …..caranya bagaimana Mbah
?’’, tanya Paino ragu-ragu.
Setelah Mbah Sampun mengucapkan
beberapa kata, maka Paino beranjak pulang dengan penuh pengharapan.
Penjaga malam
baru saja memukul tiang listrik dua kali. Hari masih malam. Bagi kebanyakan
orang masih terlelap dan dibuai oleh mimpi mereka. Tetapi tidak bagi Mbah
Sampun dan istrinya. Mereka berdua menyiapkan diri untuk shalat, rukuk dan
sujud menghadap Allah SWT. Kemudian Paino dan istrinya datang ke rumah Mbah Sampun.
Bergabung melaksanakan shalat di keheningan malam. Mbah Sampun membimbing Paino
dan istrinya mengaktualitakan kepasrahan
hatinya dalam shalatnya. Mengajak berdoa memasrahkan penderitaan yang
membelenggu mereka, hanya kepada Allah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim.
Demikian sehingga setiap malam air mata selalu terburai mengalirkan kepasrahan
dengan penuh keikhlasan.
Seminggu
kemudian. Sekitar pukul satu siang terdengar benturan yang menimbulkan suara
sangat keras. Amat sangat mengagetkan dan menarik perhatian Mbah Sampun dan
Paino serta tetangga-tetangganya untuk keluar dari rumah. Mereka terkejut,
telah banyak orang disekitar portal. Tampak sebuah truk pengangkut pasir
bangunan telah menabrak portal. Truk tersebut dari selatan, ketika sampai di
perempatan jalan mestinya belok kekanan, tetapi karena rem truk tersebut blong,
sopirnya tidak bisa menguasai kendaraannya akhirnya menghajar portal yang
sedang ditutup. Truk berhenti setelah sopirnya membanting stir kekiri dan
moncong truk mencium pagar rumah sebelah barat jalan. Sehingga besi portal tersebut centang
perenang tidakberbentuk lagi. Setelah ketua RW
meninjau, tidak banyak cakapnya. Sampai sekarang tidak ada upaya mengganti
dengan portal yang baru. Warga tidak mempedulikan sisa-sisa besi portal yang
berserakan.Yang pada akhirnya raib sedikit demi sedikit tanpa diketahui siapa
yang mengambilnya.
Jalan masuk itu kini tanpa portal. Keadaan sekitarnya kembali seperti
semula. Tiada keluhan warga yang sebelumnya mengeluh. Tiada lagi yang mencurahkan rasa kekesalan hatinya
kepada Mbah Sampun. Seolah tidak pernah terjadi sesuatu dan melupakan masalah
yang pernah menghimpitnya. Hari-hari selanjutnya Paino dan istrinya kembali
lelap dipeluk malam yang dingin, serta dibuai oleh bunga-bunga mimpi. Mbah Sampun
tetap seperti Mbah Sampun yang dulu . Orang gaek itu tetap taat beribadah, beramal saleh, berbaik sangka
kepada semua orang. Suatu hari dia menghampiri Paino, berkata dengan lembut
selembut beludru : ’’Maukah engkau ditinggalkan-Nya untuk selama-lamanya,
jika engkau menjauhi-Nya ?’’ *
(Bsl, 20/05/12)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung di blog ini, sekarang tinggalkanlah jejak kamu di blog ini dengan cara berkomentar di kotak komentar yang sudah disediakan.
Gunakanlah akun Google kamu atau dengan menggunakan name/URL blog yang kamu punya. :-)