(Trilaksito Saloedji)
Ini cerita putraku yang
pernah ‘’mengembara’’ di kota Pangkal Pinang pulau Bangka.
Sebagai orang muda aku
suka bergaul. Maka di kota pengembaraanku itu aku mempunyai banyak teman. Tentu
saja aku tidak sembarangan dalam mendapatkan teman. Komunitas pergaulanku masih
positip. Biasanya ramai-ramai berwisata dan makan-makan.
Masyarakat di sini suka
makan ikan, baik ikan laut maupun ikan darat. Ketika baru beberapa minggu di
kota Pangkal Pinang, aku diajak teman-teman untuk menghadiri undangan makan.
Di tempat perhelatan telah
disiapkan berbagai ikan, dimasak dengan aroma yang mengundang selera makan. Ada
masakan ikan pari (yang panjangnya sekitar 20 cm), ikan nus, ikan patin dll.
Yang mempunyai hajat
sangat ramah, mempersilakan kami makan. Aku sangat menikmati ikan pari yang
dimasak dengan bumbu yang berwarna kuning demgam irisan nanas. Rasanya nikmat
segar. Teman-teman dengan leluasanya mengambil dan menambah lauk.
Mungkin si empunya rumah
melihat aku ‘’kikuk’’, terlihat malu-malu. Maka beliau mendekati, menyodorkan
lauk di piring sambil berkata dengan bahasa daerah setempat :
‘’Ikak neg?’’
Aku heran, tidak mengerti
arti perkataannya. Kupikir beliau bertanya apakah masakan yang kumakan ‘’menimbulkan rasa NEG’’.
Rasa yang membuat mual, ingin muntah. Maka aku menjawab dengan sopan dan
tersenyum :
‘’Tidak, terimakasih’’,
aku meneruskan makan apa yang ada di piringku. Sedangkan teman teman yang lain masih
menikmati hidangan yang tersaji di meja makan.
Sewaktu dalam perjalanan pulang, seorang teman
bertanya :
‘’Ketika kamu ditawari
untuk menambah lauk, mengapa kau tolak?’’
‘’Kupikir beliau
bertanya, apakah masakannya menimbulkan “rasa neg”, rasa mual ingin muntah’’.
Kedua temanku tertawa terbahak-bahak. Lalu yang seorang menerangkan :
‘’IKAK NEG itu artinya :
anda suka? Atau anda ingin tambah
..........?’’ *