LINTAH DARAT
(Trilaksito Saloedji)
Setelah berkendara mobil sejauh 35 km sampailah aku di suatu
desa/padukuhan Ayer Dingin. Letaknya di sebelah Utara Gunung Argopura.
Tempatnya sepi, berhawa sejuk. Aku berhenti di sebuah warung makan. Menikmati
hidangan yang tersaji, sambil berbincang dengan pemilik warung dan orang-orang
yang sedang berada di warung itu. Yang menarik dari keterangan mereka adalah
‘’cerita’’ tentang lapangan terbang di lembah gunung Argopura yang dibangun Jepang
sebagai pangkalan Angkatan Udaranya.
Daerah itu
sekarang menjadi hamparan savana dengan ilalangnya dan tanaman perdu lainnya. Di
ketinggian tempat itu bisa ditemui tanaman bunga edelweys tumbuh dengan liar.
Bekas lapangan terbang itu bisa ditempuh dari Ayer Dingin dalam waktu sehari
penuh. Tentunya dengan penunjuk jalan yang mengetahui tempat itu.
Suatu hari aku
bercerita kepada Pak Karya dan Pak Bambang rekan sejawatku. Kemudian kami
bertiga sepakat untuk pergi bersama. Meskipun tak sampai tujuan tidak mengapa,
pokok sudah tahu arahnya dan beratnya tantangan. Ketika kami sedang
berbincang, datanglah Pak Sihab menyatakan ingin ikut. Sebenarnya kami
keberatan, karena menyangsikan kekuatannya. Mengingat tubuhnya yang tambun dan
jarang berolah raga. Namun dia tetap ngotot ingin ikut.
Pada hari Minggu, pagi-pagi kami naik mobil ke Ayer Dingin.
Mobil diparkir di dekat warung. Kami mengambil bekal yang dipesan di warung
itu. Seorang lelaki setengah umur membawa sabit besar, telah lama menunggu
untuk menyertai kami sebagai penunjuk jalan.
Di pagi yang dingin perjalanan diawali dari warung ini.
Melewati pinggir perkebunan kopi. Jalan tanah ditumbuhi rumput dan tanaman
lainnya. Lebar jalan makin mengerucut. Embun masih betah menempel di dedaunan.
Perjalanan belum setengah jam, Pak Sihab sudah mulai tidak bisa mengikuti irama
langkah kami. Napasnya sudah ngos-ngosan. Jalan makin menyempit, kedua tangan
kami tidak hentinya menyingkirkan ranting-ranting tanaman dan sulur tanaman
yang menghalang jalan.
Tiba-tiba terdengar kegaduhan dari belakang kami. Kami
menoleh. Pak Sihab yang berada di belakang sendiri, berteriak ketakutan.
Tangannya sibuk menarik-narik sesuatu dari lengannya. Kemudian terlihat
tangannya juga beralih menggamit sesuatu dari lehernya. Kami segera
menghampiri.
Beberapa ‘’lintah darat’’ yang berwarna abu-abu kehitaman
menempel di beberapa bagian tubuhnya. Penunjuk jalan juga ikut mendekati Pak
Sihab. Setelah mengetahui masalahnya, maka dia menuangkan cairan dari botol
yang dibawanya ke telapak tangannya. Lalu diusapkan
pada bagian tubuh yang ditempeli lintah. Binatang tak tahu
diuntung itu menyusut dan tanggal dari tubuh Pak Sihab.
Kemudian terdengar keterangan sang Penunjuk jalan :
‘’Binatang itu pengisap darah, darah kita bisa habis disedotnya’’. Pak Sihab
tampak bergidik dan berkata : ‘’Biarlah saya kembali dan menunggu kalian di
warung saja’’.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung di blog ini, sekarang tinggalkanlah jejak kamu di blog ini dengan cara berkomentar di kotak komentar yang sudah disediakan.
Gunakanlah akun Google kamu atau dengan menggunakan name/URL blog yang kamu punya. :-)