SEPATU KEBUN
(Trilaksito Saloedji)
Tempat kerjaku ini dikenal sebagai daerah yang beriklim
kering. Curah hujannya (jumlah hari hujan maupun jumlah curah hujan) rendah.
Pada pukul sebelas siang sudah terasa panasnya yang menyengat kulit. Sebagai
karyawan bagian tanaman, setiap hari saya berada di kebun-kebun wilayahku Memimpin beberapa mandor yang bertanggung
jawab membuka tanah, menanam, memelihara tanaman tebu hingga datangnya masa
tebangan.
Hari itu hampir
pukul dua belas siang. Panas sekali. Pekerja dan mandor sudah pada keluar dari
kebun mencari tempat yang teduh. Di bawah pohon kas/trembesi yang rindang,
mereka duduk dan berbincang. Ada yang membuka bekalnya untuk disantap. Aku
berbaur dengan mereka tanpa rasa canggung.
Aku duduk di atas
akar trembesi yang menyembul di atas tanah. Kemudian beberapa lelaki mendekat
sambil tersenyum-senyum. Dalam bahasa Madura yang aku tahu maksudnya, ada salah
seorang yang bicara : ‘’Pak Sinder sepatunya baru ya ?’’. Aku pun tersenyum,
memandang sepatu lars karet setinggi setengah betis yang kupakai.
‘’Saya mau minta bantuan Pak Sinder’’ - ‘’Minta bantuan apa ?’’, tanyaku
‘’Kalau
boleh……teman-teman ini akan pinjam…..’’. Dia tidak melanjutkan perkataannya,
maka aku bertanya : – ‘’Pinjam apa ?’’ –
‘’Kalau boleh……… pinjam sepatunya’’
Sebenarnya aku kurang senang, tapi masih ingin mengetahui
maksudnya. - ‘’Lalu aku nanti memakai
apa ?’’
- ‘’Maksud saya,
kalau boleh…… pinjam sebentar saja…….dan hanya yang sebelah saja’’.
- ‘’Buat apa ?’’ Dengan memelas mereka melanjutkan : ‘’Buat
menceduk air, kami haus Pak”.
Rasa iba mengalahkan rasa tinggi diri yang seolah
dilecehkan. Aku pikir apa salahnya, toh nanti dikembalikan, soal sepatu basah
bisa dikeringkan. Tetapi rasa dahaga mereka bisa terpenuhi.
Sepatu sebelah kiri kulepas lalu kuberikan kepadanya. Maka
bersoraklah pekerja-pekerja menyambutnya. Bak piala kehormatan, sepatuku dibawa
seorang yang berjalan di muka, diiring puluhan lelaki dan wanita lainnya. Aku
ingin tahu apa yang akan diperbuat dengan sepatuku. Mereka ke Timur, dibawah
keteduhan pohon lainnya mereka berhenti. Lalu kulihat yang membawa sepatu turun
ke belik (mata air kecil) sehingga hanya kepalanya yang nampak. Dia mengangkat
sepatu keatas disambut yang lain. Mereka langsung minum air dari sepatuku.
Demikian diulang berkali-kali. Astaghfirrullah, demikian cara mereka memenuhi
kebutuhan pokok dengan penuh perjuangan. Mataku tidak berlinang air mata.
tetapi hatiku yang menangis. Mereka kembali seperti ketika berangkatnya.
Sepatuku diarak beramai-ramai dengan roman muka yang puas. Aku pikir yang
membawa sepatuku akan segera mengembalikan langsung kepadaku. Ternyata tidak.
Dengan sepenuh hati sepatuku dikeringkan dengan kaos bajunya. Setelah kering
luar-dalamnya, baru dikembalikan dengan ucapan terima kasihnya yang tulus. *.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung di blog ini, sekarang tinggalkanlah jejak kamu di blog ini dengan cara berkomentar di kotak komentar yang sudah disediakan.
Gunakanlah akun Google kamu atau dengan menggunakan name/URL blog yang kamu punya. :-)