BARTER
(Trilaksito Saloedji)
Sopirku bernama Bahra. Sudah beberapa tahun bekerja
bersamaku. Dia pernah bercerita mempunyai saudara di Kayumas. Sebuah Perkebunan
Kopi milik PTP Aneka Tanaman. Terletak di lereng sebelah Barat Laut gunung
Ijen. Tiga puluh kilometer dari jalan raya arah ke Situbondo.
Dia berkata bahwa sudah beberapa tahun tidak menjenguk
saudaranya. Persil / Perkebunan adalah tempat yang sepi. Tidak dijumpai warung
makan maupun toko pracangan.
‘’Begini saja’’, aku berkata kepadanya : ‘’Ayo hari Minggu
depan kita pergi kesana. Nanti aku akan mengajak dua atau tiga orang teman
lagi’’. Dia menyambut dengan senang hati. Lalu dia mengirim surat kepada saudaranya itu, dititipkan sopir
truk yang setiap hari naik ke Perkebunan itu. Aku bertanya : ‘’Kalau tidak ada
warung lalu kita makan di mana?’’ Jawabnya : ‘’Biarlah di rumah saudara saya,
nanti Bapak bawa oleh-oleh gula.
Kami jadi pergi berlima. Bujangan semua kecuali Bahra.
Bujangan kemana pergi tiada yang melarang. Benar juga. Yang jelas selalu
mengantongi uang. Aku membawa gula dua kantong masing-masing lima kiloan. Teman-temanku tidak ada yang
tahu.
Jalan menuju
Kayumas sangat sempit dan menanjak serta berkelok-kelok. Jika berpapasan dengan
kendaraan lain, salah satu harus berhenti. Kiri dan kanan jalan adalah jurang atau tanah yang agak rendah
ditanami kopi. Beberapa kilometer dari Kayumas ada sebuah Pos Pemantau. Sebelum
kendaraan naik ke Kayumas, kendaraan harus berhenti dulu menunggu Pemantau
tilpun ke Pos atas. Apakah ada kendaraan yang turun dari atas. Demikian juga
bila kendaraan yang akan turun menunggu keterangan dari Pos bawah, apakah ada
kendaraan yang naik.
Sampai di atas hawanya sejuk ke arah dingin. Jalan persil mulus, di kiri kanannya ditanami
kopi. Kita menyusuri jalan yang berkelok-kelok menanjak menuju perumahan persil
yang terjauh. Daerah di atas persil itu ditumbuhi/ditanami cemara.
Hawa yang dingin dan waktunya makan siang. Beberapa temanku sudah mulai gusar. Ada yang berandai-andai
jika membawa makanan, betapa nikmatnya. Ada yang bertanya : ‘’Pak Bahra apakah
ada warung di sekitar sini ?’’ Jawabnya : ‘’Tidak ada Pak’’
‘’Kalau begitu
bawa uang tidak laku nih’’
Aku menyahut : ‘’Ayo
mana uangnya nanti kita bisa makan di sini’’.
Aku lalu memberi
kode kepada Bahra. Dia lalu mengarahkan kendaraan menuju rumah saudaranya. Disitu
kita dijamu makan. Aku barter dengan gula satu kantong.
Ketika mau pulang
kita mampir ke petani sukses yang menanam apel manalagi. Di situ kita dijamu
apel dan masing-masing diberi satu kilogram apel. Ketika kami menanyakan berapa
yang harus kami bayar ? Si empunya rumah dan kebun appel itu menolak
pembayaran. Teman-teman tidak tahu bahwa Bahra sebelumnya sudah menyerahkan
oleh-oleh sekantong gula. Mengherankan, di abad sputnik, di sini masih
menggunakan sistem ‘barter’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung di blog ini, sekarang tinggalkanlah jejak kamu di blog ini dengan cara berkomentar di kotak komentar yang sudah disediakan.
Gunakanlah akun Google kamu atau dengan menggunakan name/URL blog yang kamu punya. :-)